Warga Demo Besar – besaran saat Tambang di Lereng Gunung Lawu dan Wilis Ditutup
Protes tersebut dilakukan lantaran warga mengetahui bahwa aktivitas penggalian itu ternyata berkedok pembangunan kolam pemancingan. Padahal, sebenarnya tanahnya dikeduk untuk dijual.
Tidak tanggung-tanggung, kegiatan penambangan tersebut baru diketahui setelah dua tahun berlangsung. Lahan di sana dikeruk hingga kedalaman 15 meter dan lebar 50 meter.
Di Madiun aktivitas tambang menggeliat sejak lama. Menurut data Dinas ESDM Jatim 2017–2018, ada 27,75 hektare lahan tambang pasir batu (sirtu); 15,96 hektare tambang tanah uruk; dan 43,7 hektare tambang batu andesit yang mendapat rekomtek IUP operasi produksi.
Lokasinya tersebar di Kecamatan Gemarang, Dolopo, Saradan, Kare, dan Mejayan. Gemarang dan Kare merupakan wilayah yang berada di lereng Gunung Wilis. Tanah uruk di sana umumnya dijual Rp 350 ribu hingga Rp 400 ribu per rit (dump truck standar). Bergantung jarak lokasi tambang dengan tujuan.
BACA JUGA: Harga Tiket Pesawat Masih Mahal, Sampai Kapan?
Ponorogo mengalami problem yang sama. Bumi Reog itu dikenal sebagai penghasil pasir, batu tras, dan gamping. Mayoritas berada di lereng-lereng gunung. Misalnya tambang batu tras di Desa Ngrogung, Kecamatan Ngebel, yang hanya berjarak beberapa kilometer di bawah Telaga Ngebel. Ada pula tambang tras di Kesugihan, Pulung, yang merupakan wilayah kaki Gunung Wilis.
Berdasar data Dinas ESDM Jatim, ada 27,92 hektare tambang sirtu di seluruh Ponorogo. Kemudian 39,09 hektare tambang batu tras dan 27,28 hektare batu gamping yang mendapat rekomtek IUP operasi produksi. Satu rit pasir biasanya dijual Rp 1,2 juta hingga Rp 1,3 juta.
Daru Setyo Rini, manajer riset dan program Ecoton, mengatakan bahwa kegiatan eksplorasi lereng Wilis dan Lawu sama saja dengan mengubah lahan alami bervegetasi atau lahan hutan menjadi lahan terbuka atau kedap air.