Warga Demo Besar – besaran saat Tambang di Lereng Gunung Lawu dan Wilis Ditutup
Mayoritas warga Sidorejo tidak menyoal bukit-bukit di desa tersebut dikeruk dengan alat-alat berat sekalipun. Mereka bahkan dengan senang hati menjual tanah untuk dieksplorasi.
Namun, tidak demikian warga yang tinggal di bawah. Misalnya di Dusun Pucanganom, Desa Kendal, yang berada beberapa kilometer di bawah lokasi tambang.
”Warga di atas memang tidak masalah, tapi kami yang di bawah khawatir tak keruan. Setidaknya tanah longsor dan banjir bandang bisa mengancam,” ungkap seorang warga Dusun Pucanganom, Kendal, yang tidak mau namanya dimasukkan koran kepada Jawa Pos. ”Dulu pernah ada banjir bandang sekitar 2015, tapi tidak besar,” imbuh pria yang bekerja di perusahaan daerah tersebut.
Selain terusik dengan pemandangan lahan hijau yang perlahan terus menyusut, persoalan warga di bawah lokasi tambang adalah kualitas air bersih yang menurun. Termasuk sumber air Cekok Mondol yang tidak jauh dari situ.
Air bersih yang mengalir ke rumah warga di Kendal tak lagi sejernih dulu. Terlebih saat hujan deras. Air yang keluar dari pipa berwarna cokelat. Terkadang juga berwarna putih. ”Sekarang Cekok Mondol dikelilingi tambang. Wajar kalau keruh,” ungkapnya. Perubahan kualitas air itu yang membuat warga waswas. ”Tolong kembalikan alam kami,” ujarnya.
Madiun Alami Nasib Serupa
Madiun, tetangga Ngawi, rupanya mengalami problem serupa. Namun, sikap warga di sana berbeda. Persoalan tambang disikapi lebih keras oleh warga setempat. Misalnya yang terjadi baru-baru ini di Dusun Krajan, Desa Banjarsari Wetan, Kecamatan Dagangan.
Warga setempat melancarkan protes dan memblokade jalan untuk menutup hilir mudik dump truck yang mengangkut tanah uruk dari sebuah lokasi galian.