Warisan UNESCO
Oleh: Dahlan IskanKereta melaju ke selatan. Ke Ponorogo. Masih ke selatan lagi. Turun di Stasiun Siman. Lalu naik andong ke Betri.
Saya pun punya kenakalan anak-anak. Ketika ''minggat'' dari rumah, tujuan minggat saya ke Betri. Tanpa punya uang. Saya nunut kereta itu dari dari Stasiun Sleko. Tidak akan dipungut bayaran: masih anak-anak.
Geger. Saya hilang. Dicari ke mana-mana. Sampai ada acara menabuh tampah malam-malam. Keliling desa. Siapa tahu saya disembunyikan oleh hantu. Dengan konvoi memukul tampah itu sang hantu takut. Lalu melepaskan saya.
Anak sekarang tidak bisa minggat seperti itu: ada HP. Kini, begitu tiba di Betri pasti keberadaan saya sudah dibocorkan ke kampung saya lewat WA.
Desa yang juga sering saya datangi adalah Bogem. Di sebelah barat kota. Di jalur jalan antara Ponorogo-Wonogiri. Di situlah leluhur saya. Yang juga terkait dengan leluhur yang lebih atas lagi di Tegalsari, selatan kota Ponorogo.
Walhasil saya keturunan Ponorogo juga. Maka setiap ada perkembangan di Ponorogo saya kepo sekali. Maka saya selalu mendengar opini masyarakat di Ponorogo tentang setiap bupati baru.
Pun ketika saya sibuk jadi wartawan, jadi pengusaha, jadi dirut PLN, dan jadi menteri. Suatu kali saya dengar ''bupatinya bagus''. Lain kali mendengar ''bupati kita payah''. Info saling berganti.
Bagaimana dengan bupati baru tahun 2019?