Wiranto Melampaui Wewenang Sebagai Menteri dan Wanbin Hanura
Noda Hitam Kabinet Kerja
Menurut Selestinus, sikap Wiranto mengingatkan publik pada nostalgia kekuasaan orde baru yang doyan intervensi kekuasaan Badan Peradilan dan Partai Politik. Ini sangat memalukan dan membuat "noda hitam” dalam pemerintahan Jokowi, karena Rakortas Menko Polhukam itu sendiri, telah "menyandera" kekuasaan Mahkamah Agung yang merdeka, untuk kembali kepada SK. Menkumham No. : M.HH-22.AH.11.01, Tanggal 12 Oktober 2017 yang masih menjadi Objek Sengketa.
“Ini jelas melanggar Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka yang mengancam dengan pidana segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman,” katanya.
Menurut Selestinus, Rakortas Menko Polhukam dengan tema utama "menindaklanjuti Putusan PTUN Jakarta No. 24/G/2018/PTUN-JKT, Tanggal 26 Juni 2018, yang belum berkuatan hukum tetap" dengan melibatkan Mahkamah Agung dan Ketua PTUN Jakarta, merupakan perbuatan melanggar prinsip negara hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 UUD 1945 dan larangan pasal 3 UU No. : 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman yang dikualifikasi sebagai tindak pidana dalam jabatan Wiranto, terlebih-lebih telah menyandera kebebasan hakim dalam memutus perkara Perselisihan Partai Hanura No. : 24/G/2018/PTUN-JKT yang saat ini dalam proses banding.
Wiranto Beritikad Tidak Baik
Selestinus juga mengatakan sikap Wiranto menindaklanjuti putusan perkara No. : 24/G/2018/PTUN-JKT, Tanggal 26 Juni 2018, untuk kembali kepada SK. Menkumham No. : M.HH-22.AH.11.01, Tahun 2017, tanggal 12 Oktober 2017, yang sudah dibatalkan, mengandung "Itikad Tidak Baik”. Pasalnya, Wiranto tahu bahwa putusan perkara belum berkekuatan hukum tetap karena banding.
“Karena itu seandainya Wiranto punya opsi penyelesaian lain, seharusnya Wiranto membicarakan niatnya itu dengan Dr. Oesman Sapta dan Herry Lontung Siregar sebagai yang berhak bertindak mewakili Partai Hanura,” katanya.
Menurutnya, jabatan Wiranto sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Hanura telah menimbulkan "konflik kepentingan" bagi Wiranto, sehingga pertemuan Wiranto dengan pihak Mahkamah Agung dan Ketua PTUN Jakarta menjadi pertemuan yang bersifat "terlarang" terlebih-lebih karena dilarang oleh UU.