Yudi Latif Ungkap 'Islam Garam dan Gincu' ala Bung Hatta
“Bahkan sejak awal saja, namanya sudah menyiratkan nilai sufistik, yaitu Muhammad Hatta, diambil dari Muhammad Atha. Sama seperti pengarang dari kitab sufi terkenal al-Hikam yaitu Muhammad Athaillah as-Sakandari,” papar Yudi.
Tradisi keagamaan Hatta dibantu oleh ekspresi tasawuf yang lebih menekankan pada aspek kerohanian ketimbang aspek-aspek formalistik. Inilah yang telah menjadikan pribadi Hatta tumbuh menjadi seorang yang berkeyakinan keagamaan kuat, tetapi saat yang sama ia juga seperti garam.
Wakil Presiden Pertama RI itu kemudian tetap bisa memiliki pergaulan yang luas tanpa pandang bulu. Dalam menempuh pendidikan di Eropa, Hatta tetap taat menjalankan ritual seperti salat lima waktu dan lain-lain. Namun, pada saat yang sama, Hatta mengembangkan pergaulan lintas, kultural, etnis, dan agama.
“Hatta mampu bergaul dengan orang-orang dari Jawa seperti Gunawan Mangunkusumo, Arnold Mononutu, AA Maramis, dan bahkan bersahabat kan dengan Jawaharlal Nehru, seorang penganut agama Hindu,” urai doktor sosiologi politik dan komunikasi dari Australian National University ini.
Bung Hatta juga memiliki kedekatan dengan para ulama di eranya. Dia membangun jaringan yang luas dengan tokoh-tokoh pembaharuan di Sumatera Barat seperti Jamil Jambek dan Abdullah Ahmad.
Saat di Jawa, Bung Hatta juga banyak menjalin relasi relasi dengan tokoh-tokoh seperti Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, dan lain-lain.
“Latar belakang keagamaan yang kuat itulah yang menjadikan Hatta semacam jembatan penghubung antarberbagai identitas dalam mendamaikan konflik yang terjadi kala itu,” sambung penulis buku ‘Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, Aktualitas Pancasila’ itu.
Cendekiawan asal Sukabumi ini juga mengisahkan sebuah fragmen menarik yang terjadi saat Hatta masih menjadi mahasiswa di Belanda. Pernah suatu ketika Hatta bersama teman-teman mahasiswanya sedang menunggu konser musik klasik di sebuah opera house di Jerman, mereka lalu pergi ke sebuah restoran.