Yudi Latif Ungkap 'Islam Garam dan Gincu' ala Bung Hatta
Saat teman-temannya memilih untuk memesan minuman beralkohol, Hatta tetap berpegang teguh pada keyakinannya untuk hanya memesan air es, meskipun harganya di Eropa cukup mahal.
“Hal ini menandakan betapa Hatta sangat memegang prinsip keyakinannya, namun tetap rileks menghadapi perbedaan,” ucap Yudi.
Berbicara soal relasi agama dan negara, Bung Hatta sudah jauh-jauh hari membayangkan apa yang sekarang disebut sebagai teori ‘Twin Tolerations’ atau toleransi kembar.
Menurutnya, agama dan negara tidak perlu dipisahkan, tetapi masing-masing harus tahu diri di mana posisinya yang tepat. Agama tidak boleh memaksakan secara langsung hukum-hukumnya pada negara tanpa melewati proses-proses permusyawaratan yang diterima oleh semua kalangan.
Pada saat yang sama, negara juga harus toleran terhadap agama dan tidak boleh mencampuri urusan rumah tangga agama.
“Inilah kemudian poin penting Hatta dalam membangun sebuah jembatan dialog antara pendukung paham nasionalisme religius dan nasionalisme sekuler kala itu, khususnya saat momen penghapusan tujuh kata di Piagam Jakarta,” terang Yudi.
Saat momen penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta mengenai syariat Islam, Hatta sangat berperan dalam mempersuasi dan meyakinkan tokoh-tokoh Islam kala itu. Bahwa penghapusan tujuh kata itu tidak akan mengubah secara fundamental nilai-nilai ketuhanan.
“Track record, latar belakang, dan perilaku Hatta yang agamis inilah yang memberikannya legitimasi moral dan kredibilitas di antara tokoh-tokoh agama kala itu,” ucap Yudi.