Yusril Ungkap Kejanggalan Putusan Kasus SKL BLBI
jpnn.com, JAKARTA - Yusril Ihza Mahendra, pengacara Eks Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung, tak terima putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang menjatuhkan hukuman 13 tahun penjara bagi terdakwa kasus SKL BLBI itu. Menurutnya, ada sejumlah kejanggalan dalam perkara tersebut.
Salah satunya adalah dugaan kerugian negara yang dinyatakan terjadi pada 2007. Padahal, BPPN sudah bubar dan Syafruddin meletakkan jabatannya pada 2004.
"Yang sangat ganjil, pendirian kami, kapan sih dugaan kerugian terjadi, ya terjadi pada 2007," kata Yusril di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (24/9).
Menurut Yusril, sebelum BPPN menyelesaikan tugasnya, Syafruddin menyerahkan aset berupa hak tagih utang petambak senilai Rp 4,8 trilyun kepada menteri keuangan saat itu Boediono. Kemudian aset tersebut diserahkan kepada PT PPA.
"Diserahkan sama Pak Syafruddin Rp 4,8 triliun tapi dijual oleh PPA seharga Rp 220 miliar sehingga negara dianggap rugi. Yang jual itu siapa, itu yang saya tidak mengerti," ujarnya.
Terkait masalah tempus delicti ini, tim kuasa hukum sudah menyampaikan sanggahan dalam pledoi berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Fakta tersebut adalah, kerugian keuangan negara itu terjadi pada tahun 2007, atau bukan lagi di bawah tanggung jawab terdakwa.
"Kami sudah menyanggah kapan tempus delicti dari pristiwa pidana yang didakwakan dan fakta-fakta persidangan itu dugaan kerugian di 2007. Lantas tahun 2007 aset itu dijual siapa, Syafruddin atau yang lain? Dijawab oleh PPA, kenapa Syafrudin yang dihukum," katanya.
"Kami tidak mengerti, bagaimana (majelis hakim) bisa tidak sependapat dengan alasan dan fakta yang sangat logis dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Orang lain yang menjual tapi Syafruddin yang harus dihukum. Kami sangat heran," ujarnya.