Zaytun Menara
Oleh: Dahlan IskanJuga ketika lagu India sedang dimainkan. Banyak yang tiba-tiba joget sendiri-sendiri –tidak mau lagi ikut gerakan saya dan Nicky di panggung.
Yang seperti itu menular di lagu-lagu dangdut setelahnya. Atau di lagu rock and roll. Kian banyak yang joget sendiri-sendiri. Saya seperti senam berdua saja bersama Nicky di panggung.
Selebihnya banyak juga yang hanya menonton dansa swasta itu –karena sudah kelelahan hampir satu jam nonstop berjoget.
Selama di panggung sesekali saya melirik ke puncak menara masjid itu. Menara itu memang tinggi sekali: 210 meter.
Saat menuju stadion ini saya minta dilewatkan proyek masjid baru itu. Bangunannya saja 1 hektare. Enam tingkat. Saya tidak masuk ke dalamnya. Masih sedang penyelesaian. Tetapi sosoknya sudah jelas: gagah sekali.
Tapak menaranya sendiri sekitar 12 x 12 meter. Bagian bawahnya berbentuk gedung lima lantai. Untuk menuju puncak, di dalam menara itu dipasangi lift. Di puncaknya itu akan dibuka restoran. Bisa berputar. Seperti puncak menara di berbagai negara.
Lain kali saya mau dua malam di Al Zaytun. Sambil mengembalikan jas. Saya belum sempat melihat lahan pertanian dan peternakannya. Ratusan hektare. Yang menggarap sawah itu petani sekitar. Dengan sistem yar-nen.
Al Zaytun yang menyediakan biaya penanaman. Sejak dari traktor sampai pupuk. Dengan demikian mutu bisa dijaga. Benih harus unggul. Komposisi pupuk harus proporsional. Semua biaya itu dibayar kembali dari hasil panen. Selebihnya dibagi dua: penggarap dan pemilik lahan.