164 Pabrik Rokok Terancam Tutup, Penyebabnya

Jumat, 06 Oktober 2017 – 19:33 WIB
Ketua Gapero Jatim Sulami Bahar (kiri) dan tokoh rokok Indonesia Henry Najoan saat sesi press conference mengenai rencana pemerintah menaikkan cukai rokok. FOTO : JPNN

jpnn.com, SURABAYA - Rencana pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 8,9 persen tahun depan ditentang oleh Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero). Menurut Ketua Gapero Jawa Timur Sulami Bahar, rencana itu bakal memiliki dampak negatif ke masyarakat.

”Mulai dari mematikan industri hasil tembakau dalam negeri, dan yang tak kalah menyedihkan jika perusahaannya tutup, otomatis akan mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal,” jelasnya saat ditemui awak media di Ria Resto Surabaya Jumat (6/10) tadi.

BACA JUGA: Pemerintah Diminta Tidak Naikan Tarif Cukai Hasil Tembakau

Apalagi rencana kenaikan berada di tengah tren perlambatan ekonomi. Belum lagi simplifikasi layer, dari 12 menjadi 9 layer. ”Kalau sudah begitu pabrik rokok golongan 2B pasti akan tutup. Jumlahnya tidak main-main, mencapai 164 pabrik,” tutur Sulami.

Sulami lantas mencontohkan, pada saat pemerintah mengambil kebijakan simplifikasi layer di tahun 2010 dari 19 ke 12 layer, berdampak ditutupnya pabrik rokok kecil hingga hampir mencapai 4000 pabrik. ”Layer adalah penggolongan pabrik rokok berdasarkan jumlah produksi, tenaga kerja, dan faktor lain,” ujar perempuan yang aktif di dunia rokok selama puluhan tahun itu.

BACA JUGA: Pemerintah Diminta Sederhanakan Struktur Cukai Rokok

Dengan rencana kenaikan cukai, tentu semakin memberatkan industri rokok tanah air. Sebab, sejak 2013 silam, produksi turun lebih dari satu persen dari rata-rata produksi rokok 340 miliar batang. Penurunan itu kata Sulami, merupakan dampak dari berbagai tantangan yang dihadapi industri rokok, mulai naiknya target penerimaan cukai, makin pendeknya waktu pembayaran cukai (PMK 20/2015), kurang memadainya ruang konsumsi rokok, relatif stagnannya pertumbuhan ekonomi. Juga, maraknya peredaran rokok ilegal dan munculnya berbagai peraturan yang membebani daya tahan industri.

Di sisi lain, dalih simplifikasi  layer yang disampaikan pemerintah, dengan argumentasi terlalu  rumitnya pengaturan  administrasi  pungutan  cukai,  sulitnya  kontrol  rokok illegal, hingga alasan kurang  optimumnya  upaya  untuk  meningkatkan  penerimaan negara, dinilai Gapero tidak tepat.

BACA JUGA: Struktur Cukai di Indonesia Masih Perlu Dibenahi

Dengan berbagai varian jenis produk rokok yang beredar di Indonesia, yakni sigaret putih mesin (SPM), sigaret kretek mesik (SKM), dan sigaret kretek  tangan  (SKT), pembagian layer sebanyak 12 bukanlah jumlah yang besar. “Apalagi jika mempertimbangkan varian level kemampuan perusahaan di Indonesia. Sebagai perbandingan, Thailand dan Australia memberlakukan  12 dan 19 layer dalam pembagian layer cukai minuman beralkohol,” ucap Sulami.

Sulami menjelaskan, dari hasil penelitian Survei Rokok Ilegal Universitas Gajah Mada pada 2016, makin berkurang jumlah layer, maka peredaran rokok ilegal semakin tinggi. Pemerintah akhirnya yang rugi sendiri. Berdasarkan data-data itu, rencana maka pengurangan layer di tengah kinerja industri yang mengalami penurunan akan menjerembabkan industri lebih dalam lagi. ”Sebaiknya pemerintah menunda rencana tersebut demi kebaikan banyak pihak,” harapnya.

Jumlah pabrik rokok sendiri kini hanya tersisa di angka 400an pabrik. Jauh berkurang dibanding satu dekade silam. (JPNN/pda)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bea Cukai Cari Formulasi Tarif yang Tepat


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler