Komunitas transgender alias kaum waria masih dipandang sebelah mata masyarakat IndonesiaHinaan, cacian, dan pengucilan adalah "makanan" mereka sehari-hari
BACA JUGA: Cerita Sukses Rudi Salim, Pengusaha Muda di Dunia Maya
Yulianus Rettoblaut, waria yang baru lulus dari Fakultas Hukum Universitas Islam At Tahiriyah, Jakarta, ingin mengubah pandangan jelek ituRIDLWAN HABIB, Depok
MENCARI rumah sekaligus salon milik Yuli "panggilan akrab Yulianus Rettoblaut" tidak sulit
BACA JUGA: Ingin Punya Rumah Sendiri, Ingin Hidup 100 Tahun
Meski berada di tengah permukiman padat penduduk di kawasan Meruyung, Depok, Jawa Barat, salon Yuli cukup terkenalBACA JUGA: Tetap Ngotot Di Perairan Indonesia
"Cari salon Mbak Yuli ya, masuk saja gang golf itu, terus belok kiri," ujar seorang ibu di depan kompleks masjid saat Jawa Pos menanyakan arah jalan salon Yuli
Satu jam menjelang ibadah salat Jumat (14/8), suasana salon dengan delapan meja rias itu sepiTidak ada satu pun pelanggan yang datangYuli ditemani dua rekannya sedang santai di ruang kecil samping salonMengenakan baju merah dengan riasan muka tebal, dia menyambut ramah"Ayo, ayo masukSusah nggak tadi cari alamatnya," tanya Yuli
Rumah sekaligus salon milik Yuli itu sehari-hari juga menjadi markas besar Forum Komunikasi Waria Indonesia (FKWI)Yuli adalah ketua umum FKWI"Aku sedang mengumpulkan data teman-teman (waria) di Jakarta," katanya menjelaskan kesibukannya di depan komputer
Ada dua perangkat komputer di kantor FKWIDi dindingnya dipajang foto-foto Yuli dan aktivitas FKWIDi antarannya, saat Yuli diwisuda sebagai sarjana hukum Universitas At Tahiriyah, Jakarta"Kalau siang begini, salon sepiTapi, kalau malam atau akhir pecan, rumah saya ramai," ujarnya
Dalam beraktivitas di salon maupun di sekretariat FKWI, Yuli didampingi tiga stafKetiganya juga wariaTapi, Yuli membuka diri bila ada waria lain yang ingin menumpang tinggal di rumahnyaYuli bercerita, dirinya membangun rumah itu bersama teman-temannya dari nol"Sejak masih tanah kosong," tutur dia
Awalnya, dia kesulitan mencari rumah yang bisa dipakai untuk tempat kumpul-kumpul komunitas waria"Sebab, masyarakat masih menganggap kami ini sampah atau pembawa malapetaka," katanya
Beruntung, dibantu beberapa LSM peduli hak asasi manusia dan komunitas gereja, Yuli cs berhasil membeli tanah di Depok itu pada Februari 2009Pelan-pelan mereka mencari dana untuk membangun rumah singgah itu"Ada yang menari, ada yang menyanyi, ada yang rias salonKami ini kan punya bakat macam-macamDari usaha itulah, sedikit demi sedikit terkumpul uang," katanya."
Akhirnya, rumah seluas 144 m2 itu pun bisa terwujud"Bahkan, kami berencana membuat bangunan bertingkat nanti," imbuh dia
Di lokasi itu, Yuli cs tidak mendapatkan penolakan dari warga setempatBahkan, kata waria asal Papua itu, tak jarang ibu-ibu sekitar meminjam ruang di rumah singgah tersebut untuk keperluan arisan"Kami juga menggelar bakti sosial di waktu-waktu tertentu, seperti saat hari raya atau 17 Agustus," katanya
Sebagai sarjana hukum, Yuli menginginkan kaumnya bangkit dari ketidakadilan dan cemoohanCaranya, memberdayakan diri masing-masingUntuk itu, Yuli terus berupaya meraih jalan menuju kebangkitan itu
Selain menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Islam At Tahiriyah, Jakarta, dia mencoba ikut seleksi calon anggota Komnas HAM pada 2007Dia lolos seleksi awalNamun, di tingkat fit and proper test di DPR, dia tidak berhasil masuk kualifikasi.
"Saya gagal menjadi anggota Komnas HAM karena waria dianggap belum saatnya menjadi pejabat publikTerutama oleh kalangan agamis," katanya
Gemas dengan fakta itu, dia lalu mendaftar kuliah di Universitas At Tahiriyah yang kampusnya beralamat di Jalan Kampung Melayu III, Bukit Duri, Jakarta SelatanYuli pun lulus dengan predikat cum laude dan diwisuda pada 31 Juli 2010
"Awalnya saya ragu mau masukSebab, itu kan universitas IslamTapi, setelah masuk, ternyata mereka semua baik dan ramahSaya diterima dengan dandanan sebagai waria," katanya
Selama kuliah, Yuli merasa tidak pernah mendapatkan perlakuan diskriminasiBahkan, Rektor Universitas At Tahiriyah Dr Suryani Thaher justru menganggap leberadaan Yuli sebagai mahasiswa kampus itu merupakan berkah"Gara-gara kamu, At Tahiriyah terkenal di mana-mana lho, Yul," kenang Yuli menirukan komentar rektor kampusnya."
Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas At Tahiriyah Hamdan SH MSi memuji sikap gigih Yuli dalam belajar"Dia cepat paham dan menguasai perkuliahan," kata Hamdan saat dikonfirmasi secara terpisah
Skripsi Yuli berjudul Hak Kerja Kelompok Minoritas dan Perda DKI Jakarta pun berhasil dipertahankan dalam ujian dan mendapat nilai A"Kami senang bisa mempunyai alumnus seperti Yuli," kata Hamdan
Yuli berasal dari suku pedalaman Asmat di PapuaDia lahir pada 30 April 1961 sebagai anak ketujuh di antara sebelas bersaudara pasangan mendiang Petrus Rettoblaut-Paskalina HuruleanDi desa kelahirannya, Yuli mengenyam pendidikan SD dan SMP dalam kondisi yang serba terbatasMenginjak bangku SMA, barulah Yuli mengenal kehidupaan yang lebih kompleks di Kabupaten Merauke.
Selepas SMA, tepatnya pada 1978, Yuli memberanikan diri merantau ke Jakarta"Saya merasakan ada panggilan jiwa sebagai wanita," ujar Yuli
Dia kuliah hingga semester IV di sebuah universitas swasta di Jakarta Selatan sebelum dropout karena dikhianati "sang kekasih" pada 1984
Seperti patah hati, gairah hidup Yuli saat itu langsung ikut dropBahkan, kehidupannya menjadi tidak keruanDia makin nekat dan turun ke jalan menjajakan diri"Hampir 17 tahun saya mangkal sebagai PSK," katanya berterus terang
Lokasi rutin dia mangkal itu di kawasan Taman Lawang, Jakarta Pusat, dan kawasan Prapanca, Jakarta Selatan. "Saya dikenal orang karena badan saya paling besar dan paling hitam," paparnya, lantas tertawa
Lantaran badannya yang kekar itu, Yuli juga ditakuti orang-orang yang mengisengi dirinya maupun kawan-kawannya sesama waria"Saya tidak mau waria dilecehkan orangKalau ada waria diperlakukan kurang ajar, saya siap mengajak duel orang itu," ujarnya"Saya nekat seperti ini karena saya sudah tidak punya siapa-siapa," tambah dia.
Yuli memang pernah babak belur dikeroyok puluhan pemuda karena membela kaumnya yang dilecehkanKasus itu dia laporkan ke polisi, tapi tak jelas juntrungannya.
Akhirnya, sekitar 1996, jalan terang datang ke hati Yuli"Saya merenung, tidak mungkin seperti ini terus di jalanan hingga tuaKalau bukan dari diri sendiri, siapa lagi yang akan mengubah diri kita," ujarnya
Dia lantas memilih Gereja Stefanus, Cilandak, Jakarta Selatan, sebagai tempat beraktivitasSebelum memimpin FKWI, Yuli menjadi ketua Muda Mudi Katolik dan ketua Forum Komunikasi Waria Jakarta Selatan"Sejak mendapat pencerahan itu, hati saya tenangGairah hidup saya menyala lagi."
Kini Yuli sedang menempuh S-2 ilmu hukum pidana di Unitama, Jagakarsa, Jakarta Selatan"Saya juga sedang ambil sertifikasi pengacara di PeradiSaya ingin membela hak-hak kaum saya," katanya
Bahkan, tawaran beasiswa S-3 dari negeri Belanda sudah siap diambil"Pokoknya, sampai waria merdeka dari penindasan, saya akan terus berjuang," katanya disambut komentar rekan-rekannya(*/c4/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dibesuk Adik dan Ibu, Tak Ada Acara Tiup Lilin
Redaktur : Tim Redaksi