4 Faktor yang Memengaruhi Industri Ritel

Sabtu, 13 Juli 2019 – 05:19 WIB
Ilustrasi masyarakat sedang berbelanja di Matahari Department Store. Foto: Kaltim Post/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Para pelaku industri ritel melakukan berbagai cara agar bisa membukukan pertumbuhan sebesar sepuluh persen dibandingkan tahun lalu.

Salah satunya ialah dengan menggelar program untuk menggaet masyarakat berbelanja.

BACA JUGA: Bisnis Perhotelan Terguncang

Ketua Umum Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia) Roy N. Mandey mengatakan, konsumsi masyarakat menjadi salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi.

BACA JUGA: Rasio Kredit Macet Meningkat

BACA JUGA: Aprindo Beber Kunci Utama Agar Industri Ritel Tetap Bertahan

”Kontribusi konsumsi rumah tangga 56,82 persen dari total PDB pada semester pertama,” terangnya, Kamis (11/7).

Aprindo yang bekerja sama dengan Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) dan Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) membuat program Indonesia Great Sale (IGS) pada 14 sampai 25 Agustus.

BACA JUGA: Persaingan Industri Ritel Kian Ketat, Laba Semakin Kecil

IGS merupakan program belanja yang ditargetkan untuk dilakukan secara serempak di 321 pusat perbelanjaan Indonesia.

”Konsumsi inilah yang harus dijaga untuk menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ujarnya.

Pada tahun ini, industri ritel menargetkan transaksi Rp 258 triliun atau tumbuh sepuluh persen ketimbang 2018 dengan total transaksi Rp 235 triliun.

Menurut dia, saat ini ada empat unsur yang memengaruhi industri ritel tanah air. Yakni, politik, ekonomi, sosial, dan teknologi.

”Kita tahu politik sekarang mulai kondusif, ekonomi masih baik, inflasi terjaga, cadev (cadangan devisa) mestinya membaik karena sekarang ekspor didorong semaksimal mungkin,” urainya.

Hal tersebut membuat pihaknya optimistis bisa mencapai target pertumbuhan. Apalagi, pertumbuhan investasi ritel masih terjaga.

APBI mencatat, tahun lalu minimarket gencar melakukan ekspansi. Sebanyak 800 hingga 900 minimarket baru beroperasi pada 2018.

Untuk supermarket, jumlahnya memang lebih sedikit, yakni hanya 10 hingga 15 supermarket baru.

Hypermarket sebanyak 2 hingga 3 yang beroperasi tahun lalu dan 5 hingga 10 department store baru beroperasi pada 2018.

Berbeda dengan 5 atau 10 tahun yang lalu, konsumen menerapkan lifestyle shopper atau berbelanja dengan keluarga sambil jalan-jalan.

Namun, sekarang berubah ke leisure yang lebih mementingkan kuliner, nonton, baru belanja.

Otomatis ritel dengan format besar 5.000 hingga 6.000 meter persegi harus mengubah bisnis modelnya.

”Karena orang tidak mau lagi datang ke hypermarket, sudah macet, parkir susah, jadi terlalu lama kalau mereka mau muter-muter. Otomatis shifting-nya berubah dari luasan high zone menjadi medium zone yang kecil,” jelasnya.

Ketua APPBI DPD DKI Ellen Hidayat menambahkan, saat ini pusat perbelanjaan masih tetap diminati masyarakat.

’’Kultur masyarakat Indonesia masih suka guyub, berbeda dengan luar negeri. Di sana offline memang rontok karena masyarakatnya lebih individual dengan kesibukannya,” ujarnya.

Selain itu, menurut dia, meski online shop memberikan diskon besar-besaran saat HUT kemerdekaan, dengan datang ke pusat perbelanjaan konsumen akan merasakan pengalaman berbeda.

”Banyak kegiatan digelar. Kuliner, artis, maupun lomba 17 Agustusan juga dilakukan di mal,” terangnya. Hal tersebut diyakini dapat menggaet kunjungan ke pusat perbelanjaan. (vir/c6/oki)

BACA ARTIKEL LAINNYA... 6 Gerai Giant Tutup, Industri Ritel Terpukul Penurunan Daya Beli


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler