jpnn.com, SINGAPURA - Konvensi PBB terhadap kesepakatan penyelesaian masalah melalui mediasi resmi berfungsi. Sebanyak 46 negara baru saja menandatangani perjanjian yang lebih dikenal sebagai Konvensi Singapura atas Mediasi. Pemerintah Singapura, pencetus traktat, berharap capaian itu bisa menghilangkan kekhawatiran perusahaan di dunia terhadap perselisihan internasional.
Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong berdiri di podium menyambut 1.500 delegasi dari berbagai penjuru dunia kemarin (7/8). Dia menegaskan bahwa konvensi tersebut bakal menjadi solusi terbaik bagi perusahaan di dunia bisnis global. "Ini adalah potongan ketiga yang kita cari selama ini," katanya sebagaimana dilansir Channel News Asia.
BACA JUGA: Singapura Apresiasi Penanganan Karhutla Indonesia
Selama ini perusahaan yang ingin menyelesaikan perselisihan internasional punya dua pilihan hukum. Melalui proses pengadilan atau arbitrase. Hasil dari dua proses itu mengikat. Yang berbeda, proses pengadilan dilakukan secara terbuka, sedangkan arbitrase secara tertutup.
BACA JUGA: Singapura Apresiasi Penanganan Karhutla Indonesia
BACA JUGA: Presiden Jokowi Bakal Melawat ke Malaysia dan Singapura Pekan Ini
Namun, banyak perusahaan yang menghindari dua jalur tersebut. Sebab, proses itu tak menjamin bahwa pihak yang menggugat bisa memenangi kasus mereka. Apalagi, kedua pihak sering kali putus hubungan dagang setelah proses hukum terjadi.
"Konvensi ini menyediakan cara yang efektif terhadap kelompok dagang. Jadi, tak hanya menyelesaikan perseteruan dagang, tapi juga mempertahankan hubungan jangka panjang kedua belah pihak," ungkap Wakil Sekjen Urusan Hukum PBB Stephen Mathias.
BACA JUGA: Singapura Akhirnya Punya Partai Oposisi
Sejak dulu, ada jalur mediasi. Jalur tersebut dipilih banyak perusahaan karena lebih cepat dan tak menguras kantong. Menurut The Straits Times, 80 persen kasus mediasi selesai setelah rapat selama satu hari. Artinya, mereka tak perlu menunggu berbulan-bulan untuk putusan hukum.
Masalahnya, kesepakatan baru yang ditandatangani dalam mediasi hanya bersifat kontrak tak mengikat. Jika salah satu pihak berubah pikiran, yang lain hanya bisa gigit jari. Kontrak hasil mediasi pun mubazir. Alhasil, pihak yang merugi harus melalui proses pengadilan atau arbitrase dari nol. "Proses hukum yang berbelit-belit biasanya melukai operasi bisnis, merusak citra, dan menghancurkan harga saham. Karena itu, perusahaan butuh penyelesaian yang cepat," ujar Lee.
Nah, dengan konvensi tersebut, ikatan hukum atas mediasi tercipta. Inti proses mediasi bakal tetap sama. Mediator hanya akan berusaha membantu mencari titik tengah tanpa memaksakan keputusan. Yang berbeda, hasil kesepakatan itu mengikat.
Pengadilan dari negara anggota wajib mengacu pada kesepakatan mediasi saat menerima kasus tersebut. Itulah yang membuat puluhan negara tertarik. Misalnya, Korea Selatan, India, dan Brunei. Bahkan, AS dan Tiongkok yang sedang berselisih ikut menandatangani kasus tersebut. "Harapan kami, lebih banyak negara yang menandatangani konvensi ini. Jadi, penyelesaian sengketa bisa lebih efisien," tutur Mathias.
Lee, rupanya, punya misi lain dalam acara penandatanganan konvensi tersebut. Dalam pidatonya, dia menyisipkan pesan tersembunyi bagi dunia. "Ini adalah bentuk nyata untuk mendukung multilateralisme," jelas anak sulung mendiang Lee Kuan Yew tersebut.
Lee, tampaknya, geregetan dengan kondisi dunia saat ini. Banyak sekali negara yang mencabut keanggotaan dari traktat atau perjanjian multilateral. Salah satu yang paling mengagetkan adalah keluarnya AS dari Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) alias kesepakatan nuklir Iran.
Kebanyakan negara keluar dari sebuah perjanjian saat merasa tak lagi diuntungkan. Namun, Lee merasa bahwa tindakan itu justru merusak tatanan global. (bil/c14/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PBB Nilai Polusi di Indonesia Tanda Pembangunan Berjalan
Redaktur & Reporter : Adil