5 Alasan IDI Desak Cabut Aturan Baru BPJS Kesehatan, Tegas!

Jumat, 03 Agustus 2018 – 15:05 WIB
Pasien pengguna BPJS Kesehatan sedang menjalani perawatan di Kelas III di salah satu Rumah Sakit Pemerintah di Kab Takalar beberapa waktu lalu. Foto: TAWAKKAL/FAJAR/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Penolakan terhadap tiga aturan baru BPJS Kesehatan bermunculan. Setelah Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), giliran para dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyerukan agar Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampel) BPJS nomor 2, 3 dan 5 tahun 2018 dicabut. Sejumlah alasan disampaikan.

Pertama, peraturan tersebut membatasi jaminan pelayanan medik terhadap katarak, rehabilitasi medik, dan bayi baru lahir sehat. Ini merugikan masyarakat luas.

BACA JUGA: BPJS Kesehatan Belum Bayar, Direktur RSUD Ulin Pusing

”Kondisi defisit pembiayaan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional,Red) tidak boleh jadi alasan menurunkan mutu pelayanan,” Ujar Ketua Umum Pengurus Besar IDI Ilham Oetama Marsis, Kamis (2/8).

Membacakan pernyataan sikap IDI, Ilham meminta BPJS untuk segera membatalkan Perdirjampel tersebut dan menyesuaikan semua aturan sesuai dengan kewenangannya. ”BPJS seharusnya hanya membahas teknis pembayaran tidak memasuki ranah medis,” ujarnya.

BACA JUGA: BPJS Kesehatan Utang Puluhan Miliar kepada Rumah Sakit

Kedua, menurut Ilham, sPerdirjampel tersebut juga bertentangan dengan beberapa regulasi. Diantaranya adalah Perpres nomor 12 tahun 2013 pasal 22 dan pasal 25 yang menyebutkan bahwa semua jenis penyakit dijamin BPJS Kesehatan.

Perdir tersebut juga berpotensi melanggar UU 40 tahun 2004 pasal 24 ayat 3 bahwa dalam upaya efisiensi, BPJS Kesehatan seharusnya tidak mengorbankan mutu pelayanan dan membahayakan keselamatan pasien. ”Tapi BPJS tetap dapat membuat aturan tentang iuran atau urun biaya,” katanya.

BACA JUGA: BPJS Kesehatan Nunggak Rp 15 M ke RSUD Brebes

Ketiga, Ilham menambahkan, banyak mudarat jika peraturan tersebut tetap diberlakukan. Akan sering timbul konflik antara dokter, pasien, dan fasilitas kesehatan (faskes).

”Para dokter akan rawan melanggar sumpah kode etik kedokteran. Kewenangannya untuk mengobati diintervensi dan direduksi oleh aturan ini,” jelasnya.

Keempat, soal pembatasan pelayanan bagi bayi baru lahir juga mengkhawatirkan. Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan mengungkapkan bahwa indonesia memiliki target sustainable development goal (SDG) pada 2030. Salah satu poinnya adalah menurunkan angka kematian anak hingga ke angka 12 kematian per 1000 kelahiran.

Sementara saat ini, posisi Indonesia berada pada tren 22 hingga 23 kematian per 1000 kelahiran. Angka ini tertinggi di ASEAN. ”Dengan aturan ini, semakin sulit menurunkan angka kematian anak,” katanya.

Aman mengungkapkan, setiap bayi yang lahir, sangat rentan terhadap resiko kecacatan bahkan kematian. Untuk itu, seharusnya pelayanan terhadap bayi baru lahir harus optimal. Selain itu, negara harusnya menjamin hak hidup setiap warga negara sesuai dengan amanat UUD 1945. ”Nah ini baru lahir sudah nggak dikasih hak hidup,” ujarnya.

Kelima, Ketua III Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami), Johan Hutauruk mengatakan bahwa aturan ini juga akan menghambat upaya menurunkan angka kebutaan di indonesia. Selama ini, kata Johan, para pasien katarak rata-rata adalah masyrakat kelas bawah dan semuanya menggunakan BPJS. ”Ini kalau dihemat justru akan terjadi kerugian besar,” katanya.

Menurut WHO, angka kebutaan di indonesia baru akan turun jika indonesia mampu melakukan operasi terhadap 3.500 orang per 1 juta penduduk. Sementara tahun 2016 lalu, baru bisa dilakukan operasi katarak pada 325 ribu orang. ”Dengan aturan ini, angka kebutaan bukan tambah turun,” kata Johan.

Deputi Direksi Bidang Regulasi dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan Jenny Wihartini menjelaskan lembaganya tetap terus menjalankan tiga perdirjampel tersebut. Dia mengatakan menyimpan seluruh hasil rapat bersama organisasi profesi terkait pelayanan mata, persalinan, dan rehabilitasi medik.

BACA JUGA: Tujuan Terbitnya Aturan Baru BPJS Kesehatan, Ternyata!

Dia menjelaskan sudah berkonsultasi dengan ahli hukum. ’’Bahwa berita acara (rapat, Red) tidak bisa dibatalkan sepihak,’’ katanya. Komentar tersebut dia sampaikan terkait dengan adanya pencabutan berita acara oleh IDAI, Perdosi (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia), dan Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami).

’’(Sebaiknya, Red) yang ingin mencabut bertemu kembali. Bukan (pencabutan, Red) sepihak,’’ jelasnya. Menurut Jenny pencabutan sepihak itu menunjukkan adanya wanprestasi dari yang melakukan pencabutan. (tau/wan/lyn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... DJSN Sebut 3 Aturan Baru BPJS Kesehatan tak Mengikat Publik


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler