jpnn.com, JAKARTA - Hak angket yang diajukan DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi diduga telah diboncengi kepentingan pribadi. Bukan semata-mata demi kepentingan umum.
Pengamat hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, memang angket itu berawal adanya permintaan Komisi III DPR agak KPK membuka rekaman pemeriksaan anggota Komisi V DPR Miryam S Haryani dalam perkara korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik.
BACA JUGA: Demokrat Tak Akan Mengirim Anggota Fraksi ke Pansus Angket KPK
Sebab, dalam persidangan perkara e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, sejumlah nama anggota Komisi III DPR dituding mengintervensi Miryam.
Namun KPK bertahan. Lembaga antikorupsi itu tidak menuruti permintaan Komisi III DPR untuk membuka rekaman pemeriksaan Miryam. “Lalu muncullah (usulan) angket itu,” kata Fickar saat diskusi Meriam DPR untuk KPK di Jakarta, Sabtu (6/5).
BACA JUGA: Masinton Pasaribu: Pemberantasan Korupsi Jalan di Tempat
Setelah itu, lanjut Fickar, alasan pengusulan hak angket kemudian berpindah lagi ke hal lain.
Namun, kata dia, tetap saja pengusulan angket itu awalnya karena ada penyebutan nama-nama sejumlah anggota Komisi III DPR di persidangan.
BACA JUGA: Soal Hak Angket KPK, Margarito: Kalau Jujur Harusnya Tak Takut
“Artinya, mau masuk juga ke wilayah (hukum) itu. Harus ditafsirkan seperti itu,” jelas Fickar.
Dia mengatakan, angket memang konstitusional. Angket merupakan hak penyelidikan secara politik yang dimiliki anggota DPR.
Bahkan, siapa pun nanti bisa dipanggil ketika panitia khusus hak angket sudah bekerja.
Hanya saja Fickar mengingatkan, meskipun bagian dari pengawasan hak angket harus tetap ada muatan untuk kepentingan masyarakat umum.
Nah di sisi lain, dia melihat di balik angket ini ada kepentingan personal yang mengatasnamakan kepentingan umum.
“Conflict of interest-nya, di balik kepentingan umum itu ada kepentingan personal. Dalam konsep hukum korporasi dikenal istilah ultra vires yang artinya keputusan bisnis ditumpangi kepentingan direktur utamanya,” kata Fickar.
Jadi, lanjut Fickar, memakai lembaga atau institusi seolah-olah demi kepentingan umum.
Padahal, di dalamnya adalah untuk kepentingan orang per orang. Nah, kata dia, sejumlah anggota dan fraksi di DPR kemudian menyadari adanya hal ini. Lalu, mereka pun mencabut dukungan angket.
“Begitu angket diketok, kemudian mereka cabut dukungan setelah sadar (ada untuk kepentingan personal). Kalau menurut saya begitu,” kata Fickar.
Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mengatakan, DPR tidak mengurus kasus per kasus dalam pengajuan hak angket itu.
“Kami tidak mengurusi kasus. Ini bukan penyelidikan hukum,” kata dia di kesempatan itu.
Masinton mempersilakan KPK tetap menangani sejumlah perkara hukum korupsi yang ada.
Yang jelas, hak angket ini sudah tepat digunakan karena berkaitan dengan institusi negara.
“Meski KPK lembaga independen, dia dibiayai APBN dan menjalankan undang-undang,” tegas politikus PDI Perjuangan itu.
Menurut dia, angket yang diajukan ini untuk melihat apakah ada pelanggaran standar operasional prosedur yang dilakukan KPK.
Hal itu juga berkaitan dengan tata kelola organisasi, penggunaan anggaran dan lainnya.
Jadi, tidak mencampuri kasus-kasus hukum yang ditangani KPK.
“Kalau dikatakan apakah angket ini sudah tepat? Ya tepat,” tegasnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Siapa pun Anggota Fraksi PAN Harus Patuh dengan Arahan Ini!
Redaktur & Reporter : Boy