Ada yang Sejak 1949 Telateni Kopi

Senin, 16 Agustus 2010 – 04:23 WIB
TELATEN - Setiap hari antara pukul 06.00-21.00 WIB, Michael Tjipto Martojo telah siap di belakang meja Eva Coffee House, untuk mengaudit keuangan dan stok barang. Foto: Pratono//Radar Semarang.
MEREKA ini sudah puluhan tahun menggeluti bisnis kopiSalah seorang di antaranya memulai usaha sejak 1954

BACA JUGA: Utang RI, Sehat Tapi Boros

Kini, ketika umurnya hampir 90 tahun, dia masih energik menggeluti bisnisnya.


Kakek energik itu adalah Michael Tjipto Martojo
Setiap hari pria kelahiran 2 September 1923 itu ngantor di Eva Coffe House yang terletak di tepi Jalan Bedono Ambarawa, Kabupaten Semarang.

Bangunan Eva Coffee House terlihat cukup megah di tepi jalan utama yang menghubungkan Semarang dengan Magelang atau Jogja

BACA JUGA: UU Desa Perjelas Dana Desa

Itulah pusat penjualan dan produksi kopi Eva yang dirintis sejak 1954
Pemilik sekaligus pendirinya adalah kakek Tjipto yang umurnya 87 tahun itu.

Bersama istrinya, Christina Sunarti yang anak lurah Bedono di zaman revolusi, Tjipto membesarkan usahanya yang kini semakin terkenal itu

BACA JUGA: APBN Langsung Mengucur ke Desa

Pasangan Tjipto dan Sunarti yang menikah pada 1946 tersebut dikaruniai lima putra dan lima putriPada 2006 sang istri meninggal.

Meski usia sudah tak muda lagi, Tjipto masih mengawasi langsung usaha yang dia rintisDia masih tampak bugar, meski jika berjalan harus menggunakan bantuan walker atau dipapah"Ya beginilah kalau sudah tua, sudah sulit digerakkan," ujar Tjipto sambil mengusap kakinyaSelain itu, ingatannya masih tajam dan mampu berbicara dengan jelas.

Setiap hari Tjipto masih ngantorDia bisa ditemui di belakang meja dekat kasir dengan buku catatan stok dan keuangan"Saya biasa mulai duduk di sini jam 6 pagi sampai jam 9 malam," tuturnya.

"Ah, siapa bilangBapak biasanya jam 5 pagi sudah di situ," seloroh Petrus Canisius, putra ketiga, yang kadang ikut membantu Tjipto menjalankan usahanyaMendengar "bantahan" putranya itu, Tjipto hanya tertawa lepas.

Sebenarnya, Tjipto tidak mengawali pekerjaannya sebagai petani kopiDia adalah anggota Tentara Pelajar Brigade 17Semasa revolusi, sebagian waktunya dihabiskan untuk bertempur melawan penjajah di berbagai front pertempuranTak heran, dia mengantongi sejumlah penghargaan dari pemerintah seperti Bintang Gerilya, Pergerakan Kemerdekaan RI pertama dan kedua, Penumpasan PKI Muso di Madiun, Penumpasan APRA, Penumpasan RMS Ambon, Penumpasan DI/TII Kahar Muzakar, Penumpasan DI/TII Kartosuwiryo, Penumpasan DII/TII Amin Fatah Jateng, dan Penumpasan PRRI/Permesta.

Dunia perkopian mulai masuk dalam kehidupannya setelah dia menikah dengan SunartiAyah Sunarti, yakni lurah Bedono, memiliki kebun kopi yang luasSetelah Belanda secara resmi mengakui kedaulatan RI pada 1949, Brigade 17 dibubarkanTjipto tidak meneruskan karirnya di dunia militerDia memilih kembali ke Bedono untuk menjalani kehidupan sebagai masyarakat biasaBersama istrinya, Tjipto kembali mengurus perkebunan kopi jenis robusta.

"Saya saat itu melihat banyak teman seperjuangan yang mengalami cacat fisik dan perhatian pemerintah terhadap teman-teman yang cacat ini sangat kecilKarena itu, saya memilih untuk jadi petani saja, mengurusi kopi," cerita Tjipto terkait dengan latar belakang dirirnya meninggalkan dunia militer.

Dia kemudian teringat pelajaran ketika menjadi siswa sekolah dagang di Jogjakarta pada zaman penjajahan BelandaYakni, bagaimana mengolah sebuah barang menjadi lebih berhargaKarena dia memiliki kebun kopi, yang terlintas dalam benaknya adalah menjual produk kopi yang lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan hanya menjual biji kopi.

Akhirnya dia memutuskan untuk menjual kopi bubuk siap seduh sehingga konsumen tak perlu susah-susah lagi untuk menumbuk biji kopi jika ingin menikmati kopi tubruk"Karena saat itu tidak ada perusahaan kopi bubuk, semua koperasi pemerintah pasti ambil kopi dari saya," tuturnya.

Pada 1954 Tjipto dan Sunarti mendirikan sebuah warung di tepi jalan raya Bedono yang menghubungkan Semarang dengan JogjakartaWarung sederhana tersebut hanya berukuran 5 x 9 meterSelain menjual kopi, dia menyediakan menu pecel dan sotoWarung tersebut diberi nama Warung Kopi Eva yang menjadi cikal bakal Eva Coffee House saat ini.

Mengapa memakai nama Eva" Bukankah tak ada seorang pun di antara 10 anaknya yang menggunakan nama Eva" Tjipto menjelaskan, nama tersebut merupakan lambang perempuan pertama di dunia, yakni Eva atau Siti HawaKata Eva mudah diucapkan dan diingat karena tidak terlalu panjang.

"Dulu hanya warung sederhanaSekarang bisa seperti iniKami memiliki ruangan yang mampu menampung 700 orang dengan pemandangan bagus, bisa melihat Kota Ambarawa dan Rawa Pening," jelas TjiptoSeiring dengan berkembangnya zaman, warung tersebut berganti nama menjadi Eva Coffee House"Itu kan nama sekarang, zamannya lebih modern," ujarnya lantas tertawa.

Letak yang strategis dan memiliki banyak kenalan membuat usaha warung kopi Tjipto semakin majuBanyak rekan seperjuangannya di eks Brigade 17 yang menjadi pejabat, mulai bupati, wali kota, petinggi militer, hingga menteri, sering berkunjung ke warungnya untuk ngopi-ngopiSalah seorang di antaranya, Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Pengawasan Pembangunan pada era Orde Baru Radius PrawiroSelain itu, Sri Sultan Hamengkubuwono X sering menyempatkan diri untuk rehat sejenak di Eva Coffee House.

"Setiap ada turis mancanegara yang mendarat di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, dan berwisata ke Borobudur, pasti mereka mampir ke sini untuk coffee break," tambah CanisiusSelain itu, "iklan" dari mulut ke mulut para pengunjung yang puas setelah meregangkan otot dan minum kopi di tempat tersebut membuat nama Eva semakin dikenal.

Menurut Canisius, para pelanggan rata-rata puas dengan rasa kopi Eva"Menurut mereka (pengunjung, Red), kopi tubruk yang disajikan tidak berbau langu (kurang sedap, Red)," ujarnya.

Tjipto menjelaskan, biji-biji kopi pilihan tersebut memang mendapatkan perlakuan khususDia hanya menggunakan biji kopi yang benar-benar telah matang di pohon atau sudah berwarna merahStandar itu diterapkan baik untuk biji kopi dari kebun sendiri maupun membeli kepada masyarakat sekitar.

Biji-biji hasil petik merah tersebut dicuci dengan bahan khusus dan diolah dengan mesin yang didatangkan langsung dari Belanda"Tentu bahan khususnya apa, tidak akan saya beritahukanRahasia dong," ujarnya disambung dengan tertawa.

Setelah tahap itu, biji kopi dicuci bersih dengan air, kemudian dijemur hingga keringMelalui proses itu, lanjut Tjipto, biji kopi yang telah kering akan beraroma mirip mete"Biji kopi kering ini juga mampu bertahan hingga 10 tahun," jelas veteran yang tercatat dengan nomor registrasi NPV 10.042.574 tersebut.

Kopi Eva tak hanya dijual dalam bentuk kopi seduh siap minum sajaTjipto juga menjualnya bubuk, biji kopi, bahkan sirupSirup kopi Eva lebih praktis dan bisa disajikan dalam kondisi hangat maupun dingin"Yang ini (sirup, Red) sangat praktis karena sudah manis dan tinggal diseduh sajaMau panas atau dingin bisa," jelasnya.

Sebagian biji kopi yang digunakan kopi Eva berasal dari kebun sendiriTapi, karena banyaknya permintaan, Tjipto harus membeli dari kebun warga sekitarYang penting, biji tersebut harus dipetik merahDengan demikian, dia terus berusaha agar cita rasa kopi Eva tak berubah seiring berjalannya waktuIbaratnya, dulu ada orang yang menikmati kopi Eva dan sekarang datang lagi bersama cucunya, rasa kopi yang diminumnya tetap sama(ton/jpnn/c7/kum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tim Pembangunan JSS Bentuk Badan Kemitraan dengan Swasta


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler