Utang RI, Sehat Tapi Boros

Senin, 16 Agustus 2010 – 03:30 WIB

JAKARTA - Menjelang pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kebijakan pembiayaan defisit melalui utang selalu menjadi isu hangatApalagi, jika dilihat secara nominal, utang pemerintah Republik Indonesia (RI) terus membengkak tiap tahun.

Ekonom Sustainable Development Indonesia (SDI) Dradjad H

BACA JUGA: UU Desa Perjelas Dana Desa

Wibowo mengatakan, sebenarnya, meski secara nominal jumlah utang pemerintah naik, namun jika dilihat dari debt ratio atau rasio nilai utang terhadap produk domestik bruto (PDB), persentasenya justru turun
"Jadi, dari sisi debt ratio, utang kita relatif sehat," ujarnya saat dihubungi Jawa Pos, Minggu (15/8).

Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan menunjukkan, rasio utang pemerintah terus turun

BACA JUGA: APBN Langsung Mengucur ke Desa

Sempat melonjak hingga 89 persen dari PDB, rasio utang kemudian terus turun hingga menjadi 28 persen
Angka ini masih lebih baik dibandingkan rasio sebelum Indonesia terhempas krisis moneter 1997

BACA JUGA: Tim Pembangunan JSS Bentuk Badan Kemitraan dengan Swasta

Saat itu, rasio utang pemerintah sekitar 38 persen.

Menurut Dradjad, dari kacamata rasio utang, profil utang Indonesia memang membaik karena persentasenya terus turun"Bahkan, rasio utang kita tergolong sangat rendah dibandingkan negara-negara seperti AS, Jepang dan negara-negara Uni Eropa," katanya.

Saat ini, rasio utang negara-negara maju memang jauh lebih banyak ketimbang IndonesiaMisalnya, Jerman yang pada 2008 lalu rasio utangnya sebesar 68,7 persen, tahun ini naik menjadi 80,1 persenKemudian AS yang pada 2008 lalu rasio utangnya sebesar 68,7 persen, tahun diperkirakan membengkak hingga 90,2 persen.

Memang, krisis ekonomi global pada 2008 lalu membuat negara-negara maju menggenjot belanja untuk mendorong pertumbuhan ekonomiAkibatnya, defisit anggaran pun membengkak, sehingga utang pun ikut naik.

Contoh lain adalah Inggris yang pada 2008 lalu rasio utangnya sebesar 50,4 persen, kini sudah naik hingga 68,7 persenDi Asia, Jepang yang berpredikat sebagai Macan Asia, justru memiliki rasio utang yang mengkhawatirkanSaat ini, rasio utang Negeri Matahari Terbit itu mencapai 225,1 persen dari PDB-nyaItu adalah salah satu rasio utang tertinggi di dunia.

Pemerintah selalu punya alasan jika ditanya mengenai jumlah utang yang terus naikDirjen Pengelolaan Utang Rahmat Waluyanto mengakui, jumlah utang memang naik, namun jumlah PDB yang menunjukkan ukuran perekonomian juga terus naik"Artinya, tambahan utang kita menghasilkan tambahan PDB yang jauh lebih besar," ujarnya.

Rahmat menyebut, pada 2004, total utang Indonesia sebesar Rp 1.300 triliun dengan PDB Rp 2.295 triliun, sehingga rasio utang 57 persenKemudian, pada 2009, total utang Indonesia memang naik menjadi Rp 1.591 triliun, namun PDB juga naik pesat hingga Rp 5.613 triliun.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa menyatakan, naiknya jumlah utang tidak perlu dikhawatirkan terlalu berlebihanSebab, PDB juga terus naikBahkan, kenaikannya lebih pesat dibandingkan dengan kenaikan utang"Artinya, utang kita bisa dimanfaatkan untuk mendorong produktivitas, sehingga PDB naik," katanya.

Meski rasio utang pemerintah turun, bukan berarti itu lantas bisa dibanggakanMenurut Dradjad, jika hanya dilihat dari rasio utang, kebijakan utang suatu negara tidak bisa disebut tepat atau tidak"Sebab, rasio utang bisa misleading," ucapnya.

Dradjad mengatakan, rasio utang tidak menunjukkan kemampuan negara mendapatkan penerimaan melalui pajak yang digunakan membayar utangKarena itu, untuk menilai apakah kebijakan utang suatu negara, harus pula dilihat tax ratio atau rasio penerimaan pajak terhadap APBN"Tax ratio negara-negara maju di atas 30 persenIndonesia berkutat di 12 persenan," sebutnya

Artinya, porsi pembiayaan anggaran yang berasal dari pajak masih rendahKarena itu, potensi penerimaan pajak harus bisa dioptimalkan, sehingga negara tidak terlalu bergantung pada utang

Kritik lain, kata Dradjad, terkait dengan alokasi penerimaan negara dari sektor pajak yang sekitar seperempatnya digunakan untuk membayar utang, termasuk untuk sebagian Surat Utang Negara (SUN) dan komitmen utang yang sebenarnya pemborosan

Data Ditjen Pengelolaan Utang menunjukkan, biaya bunga yang harus dibayar oleh pemerintah kepada pemberi utang memang terus naikJika pada 2007 nilainya Rp 79,08 triliun, maka pada 2008 naik menjadi Rp 88,34 triliun, dan naik lagi pada 2009 menjadi Rp 93,80 triliunPada 2010, biaya bunga utang yang harus dibayar pemerintah mencapai Rp 115,59 triliun.

Yang patut disayangkan, ternyata, tidak semua utang pemerintah yang berasal dari pinjaman luar negeri dicairkanArtinya, pemerintah sudah terlanjur berutang, namun karena belanja anggaran seret, maka utang tersebut tidak jadi dicairkan, namun tetap saja pemerintah harus membayar fee maupun bunga utangnyaPada 2009 dan 2010, nilai pinjaman luar negeri yang tidak dicairkan pemerintah mencapai USD 10,8 miliar atau sekitar Rp 90 triliun.

Dengan fakta-fakta di atas, kata Dradjad, pemerintah harus memperbaiki kebijakan utangnyaMenurut dia, jika kebijakan utang dan pembiayaan defisit APBN diperbaiki, maka akan ada dana yang lebih banyak dialokasikan untuk ?membangun daerah tertinggal dan mengurangi kemiskinan"Intinya, jika dilihat dari tax ratio maupun kebutuhan pembangunan, utang kita adalah pemborosan," ujarnya.

Isu panas lain dalam kebijakan utang adalah soal pinjaman luar negeri yang kemudian dikaitkan dengan intervensi oleh pihak asingTerkait ini, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan, dalam setiap kesepakatan pinjaman luar negeri, pemerintah selalu menghindari adanya intervensi"Kita pastikan, tidak ada agenda politik yang dikaitkan dengan pinjaman oleh pihak kreditor," tegasnya.

Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Anggito Abimanyu mengatakan, kebijakan untuk menggalang pendanaan APBN memang sudah seharusnya tidak boleh lagi mengandalkan lembaga-lembaga donor yang memberikan pinjaman dengan berbagai syarat, bahkan intervensi terhadap kebijakan ekonomi Indonesia.

"Cukup sudah pengalaman kita dengan Paris Club yang memberikan pinjaman saat krisis moneter 1997Saya ikut prosesnyaSaat itu, kita seperti bangsa paria, meminta-minta, seperti tidak punya harga diri," ujarnya(Owi)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pelepasan Lahan Untuk Industri Terbentur Aturan Tata Ruang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler