jpnn.com - Menjelang berakhirnya 2017, Komite Nobel Norwegia menganugerahkan Nobel Perdamaian kepada International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN). Banyak yang mengernyitkan dahi saat ICAN dinobatkan sebagai nobelis.
Sebab, organisasi yang beranggota para pemuda dari berbagai negara tersebut tidak terlalu populer. Padahal, sejak terbentuk pada April 2007, ICAN tak berhenti bekerja.
BACA JUGA: Youthquake, Fenomena Pengubah Wajah Dunia
Sesuai namanya, ICAN konsisten menolak kehadiran senjata nuklir. Maka, saat isu nuklir mendominasi media internasional pada 2017, ICAN jadi sering disebut.
Organisasi independen yang berkantor pusat di Kota Jenewa, Swiss, itu juga langsung menjadi magnet dunia. Sebab, mereka yang berkiprah di sana adalah orang-orang muda. Total, ICAN punya 468 mitra yang tersebar di 101 negara.
BACA JUGA: Ekonom AS Raih Nobel, Ini Penemuan Pentingnya
”Nobel Perdamaian ini akan memperkuat pesan yang selalu kami dengungkan ke seluruh dunia tentang senjata nuklir. Yakni, bahwa dunia tidak akan pernah aman selama negara nuklir maupun negara non-nuklir masih mengizinkan kehadiran senjata nuklir,” papar Direktur Eksekutif ICAN Beatrice Fihn dalam pidato penerimaan Nobel Perdamaian di Kota Oslo, Norwegia, seperti dilansir USA Today.
Menerima Nobel Perdamaian jelas bukan akhir perjuangan ICAN untuk membebaskan dunia dari ancaman senjata nuklir yang mematikan.
BACA JUGA: Nobel Sastra Kembali ke Penulis, Elitis pun Bersorak
Saat kali pertama ICAN diumumkan sebagai nobelis pun, Fihn menegaskan bahwa kiprah ICAN justru baru mulai. Sebab, dengan menjadi nobelis, kini ICAN punya panggung yang lebih luas untuk berkarya.
Juga, untuk menyosialisasikan Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons alias Traktat Perlucutan Senjata Nuklir yang telah diteken 56 negara dan disahkan pada 7 Juli lalu.
Ada dua tujuan utama yang hendak dicapai ICAN lewat traktat tersebut. Bagi anggota yang bukan negara nuklir, ICAN ingin memastikan bahwa negara-negara itu tidak akan pernah ingin menciptakan senjata nuklir.
Sedangkan bagi negara-negara nuklir, ICAN akan mengerahkan segala cara agar negara tersebut bebas dari senjata nuklir. Yakni, dengan menghentikan program nuklir secara bertahap sampai akhirnya benar-benar melepaskan seluruh kepemilikan senjata nuklirnya.
Bukan tujuan yang mudah dicapai. Tapi, Fihn yakin ICAN akan bisa mencapai cita-cita mulianya dengan bantuan seluruh negara di dunia.
Kemarin (13/1) perempuan 35 tahun tersebut melawat Kota Nagasaki, Prefektur Nagasaki, Jepang. Kunjungan itu merupakan bagian dari kampanye ICAN untuk menunjukkan kepada dunia betapa berbahayanya senjata nuklir.
”Tragedi atom yang terjadi di kota ini bisa terulang lagi jika dunia masih percaya pada senjata nuklir,” ujarnya sebagaimana dilansir Japan Times.
Sama dengan ICAN, kini Fihn pun identik dengan perubahan. Alumnus University of Stockholm itu bisa disebut sebagai salah seorang agen youthquake.
Demikian juga seluruh tokoh ICAN di berbagai belahan dunia. Salah satunya Tim Wright yang menjabat direktur ICAN Asia-Pasifik. Seperti Fihn, Wright pun rajin menyuarakan cita-cita ICAN tentang dunia yang bebas senjata nuklir.
Awal pekan ini Wright berkunjung ke Korea Selatan (Korsel). Di negara tetangga Korea Utara (Korut) yang sedang getol mengembangkan senjata nuklirnya tersebut, pria berkacamata itu mendesak Presiden Moon Jae-in meneken Traktat Perlucutan Senjata Nuklir.
”Kami sangat berharap Korsel mau meneken traktat ini sebagai bukti dukungan Korsel terhadap terwujudnya dunia yang aman tanpa senjata nuklir,” katanya.
ICAN punya puluhan, bahkan ratusan, Fihn dan Wright. Dan, seperti dua tokoh muda itu, mereka tidak berhenti mengampanyekan cita-cita ICAN untuk menciptakan dunia bebas nuklir.
Tapi, panggung mereka lebih sempit. Skala kampanye mereka juga lebih kecil. Kendati demikian, dengan kekompakan dan semangat pantang menyerah, ICAN yakin harapan mereka akan terwujud. Sebab, tidak ada hal yang mustahil. (hep/c10/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Survei: Donald Trump Ancaman Terbesar Kelima Bagi Umat Manusia
Redaktur & Reporter : Adil