jpnn.com - MEDAN - Diterima bersekolah di SD Negeri 060786, Jalan Purwo, Medan Timur, membuat semangat Aisyah kembali muncul untuk meraih masa depannya.
Dengan wajah ceria, ia pun menyampaikan keinginannya untuk menjadi dokter. "Kalau sudah besar pingin jadi dokter," ujarnya.
BACA JUGA: Guru SD Tewas Terseret KA
Keinginan Aisyah untuk menjadi dokter bukan tanpa alasan. Kondisi ayahnya yang sekarat akibat menderita penyakit TBC menjadi alasan utamanya ingin menjadi petugas medis tersebut. "Biar bisa ngobatin orang seperti ayah," ungkapnya.
Kisah pilu yang dialami Muhammad Nawawi Pulungan (54), dan anaknya Siti Aisyah Pulungan (8) menjadi perhatian dari antropolog. Sistem kekerabatan, klan atau marga dalam adat Batak yang dianggap bisa menjadi katup pengaman dalam persoalan sosial seperti ini, ternyata tidak berlaku.
BACA JUGA: Menguat, Desakan Lokalisasi Loa Hui Segera Ditutup
Antropolog yang juga Rektor Universitas Negeri Medan (Unimed), Prof Ibnu Hajar, menyatakan, sistem kekerabatan yang merujuk pada klan marga merupakan identitas yang penting. Terlebih dalam adat Batak. Jika seseorang dengan marga tertentu mengalami kesulitan, maka seharusnya anggota klannya yang lain akan membantu, sebab setiap marga punya persatuan marga.
"Dalam kasus Aisyah, hal ini tidak terlihat. Selama tiga tahun mereka menjadi tunawisma, tidak bisa keluar dari persoalan besar mereka. Ini berarti ada masalah dengan pengikat identitas itu," kata Ibnu Hajar.
BACA JUGA: Dapatkan Sertifikasi Mesti Kumpulkan 150 SKP
Apa yang menyebabkan ikatan itu mengendur adalah persoalan yang harus dipahami lebih lanjut. Mungkin ada banyak faktor. Namun, lanjut Ibnu, seharusnya persatuan marga punya langkah mengatasi hal ini.
Persoalan yang memicu perpindahan Nawawi dari asalnya di Pematang Siantar dan memutuskan menjadi tunawisma di Medan, menjelaskan ada persoalan pemerataan pembangunan yang tidak terjadi. Kota menjadi pusat pembangunan dan desa ditinggalkan karena tidak ada lagi yang bisa diharapkan.
"Maka mereka ke kota dalam upaya mendapatkan peluang yang lebih baik. Kota terlihat menjanjikan, karena pembangunan terfokus di sana, padahal ternyata situasinya tidak seperti itu. Di kota itu sifatnya individualisme," katanya.
Maka kejadian yang dialami Aisyah sekali lagi membuktikan pentingnya untuk membangun penguatan ekonomi di desa. Pembangunan harus merata sehingga desa juga menjadi tempat yang menjanjikan secara ekonomi.
Ibnu mengakui masalah Aisyah memang kompleks. Bagaimana anak berusia delapan tahun seorang diri mengurus ayahnya yang sakit dan tidur di atas becak barang. Tetapi jika ikatan kelompok marga kuat, dan masalah kemiskinan di hulu diatasi, maka tak perlu ada kisah seperti ini lagi. (cr2/cr3/fit)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tahan 21 Tersangka, Antisipasi Kerusuhan Susulan
Redaktur : Tim Redaksi