Akankah Erdogan Effect di Turki Merembet ke Pilpres RI?

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 30 Mei 2023 – 22:40 WIB
Gubernur DKI Anies Baswedan dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Istanbul. Foto: Twitter/aniesbaswedan

jpnn.com - Recep Tayyip Erdogan memenangi pemilu presiden putaran kedua di Turki, Minggu (28/5). Erdogan menang dengan mengumpulkan suara 52,14 persen mengungguli lawannya, Kemal Kilicdaroglu (47,86 persen).

Pemilihan dilakukan dua putaran karena pada putaran pertama tidak ada kandidat yang mencapai 50 persen plus. Erdogan menjadi juara pada putaran pertama dengan 49,5 persen suara, sedangkan Kiricdaroglu meraih 44,9 persen suara.

BACA JUGA: Cawe-Cawe di Pilpres

Di Indonesia, kemenangan Erdogan memunculkan harapan akan terjadinya ‘Erdogan Effect’ berupa bangkitnya politik Islam. Tidak bisa dipungkiri bahwa pendukung Anies Baswedan berharap tuah positif dari kemenangan Erdogan bisa terjadi di Indonesia.

Akan tetapi, citra Erdogan yang negatif di mata media Barat membuat pendukung Anies harus berhati-hati untuk mengasosiasikan bakal capres dari Koalisi Perubahan itu dengan Erdogan.

BACA JUGA: Raja Charles & Dosa Kolonialisme

Pemilu Turki kali ini menjadi pemilu yang paling keras dan ketat, karena semua kelompok oposisi berkoalisi untuk mengalahkan Erdogan. Pemilu ini juga banyak memunculkan cawe-cawe politik karena ada intervensi dari Barat yang tidak menginginkan Erdogan untuk menang.

Hal itu tecermin pada pemberitaan media Barat yang menggambarkan Erdogan sebagai sosok otoriter dan opresif yang harus digulingkan.

BACA JUGA: Sandingkan & Bandingkan

Erdogan digambarkan sebagai pemimpin ekspansionis yang berambisi membangkitkan kembali kekuasan global Turki seperti  pada masa kekuasaan Khalifah Utsmaniyah pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20.

Erdogan disamakan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin yang juga dipotret sebagai pemimpin otoriter yang ingin kembali membangkitkan imperium Rusia.

Kekuatan Barat tidak menghendaki Erdogan berkuasa lagi dan lebih mendukung Kemal Kilicdaroglu untuk menjadi pemimpin Turki. Kilicdaroglu mewakili koalisi liberal yang pro-Barat.

Kelompok itu menjadi musuh utama Erdogan yang mewakili kubu nasionalis-Islam yang lebih independen terhadap Barat.

Media-media Barat memotret pemilihan presiden di Turki sebagai perebutan kekuasaan antara pemimpin despotik melawan oposisi yang demokratis.

Media-media mainstream besar Barat, seperti The Economist, Der Spiegel, Le Point, dan media besar lainnya secara terang-terangan menyerang Erdogan dengan memotretnya sebagai diktator.

Kover salah satu edisi The Economist menggambarkan sosok Erdogan sedang duduk di singgasana yang sudah agak reyot dengan lambang bulan sabit retak di pucuk singgasana.

Majalah terkemuka itu menunjukkan bahwa Erdogan ingin membangkitkan kembali imperium Turki yang pernah menjadi superpower dunia. The Economist juga mengungkap tindakan represif Erdogan terhadap kalangan oposisi dan jurnalis yang kritis terhadapnya.

Jurnalis senior David Hearst yang memimpin redaksi Middle East Eye mengecam kampanye negatif media Barat dan menganggapnya bias karena tidak berimbang dan terlalu memojokkan Erdogan. Banyak pemimpin di Timur Tengah yang represif dan opresif terhadap oposisi dan jurnalis, tetapi tidak mendapatkan sorotan yang kritis dari media Barat.

Arab Saudi di bawah kepemimpinan Pangeran Muhammad bin Salman (MbS) melakukan represi terhadap oposisi. MbS  berada di balik pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi.

Mesir di bawah Presiden Abdul Fattah al-Sisi juga bertindak opresif terhadap oposisi dengan memenjarakan ribuan oposan dalam kondisi yang sangat buruk.

Sisi mengeluarkan daftar berisi 80 organisasi dan perorangan yang dianggap sebagai teroris. Banyak di antaranya adalah jurnalis yang kritis terhadap rezim.

Kendati demikian, tidak ada liputan yang kritis dari media Barat terhadap rezim di dua negara itu. Dua negara itu dikenal sebagai sekutu dekat Barat.

Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada saat masa kampanye mengatakan akan mengasingkan Arab Saudi yang rekor hak asasinya  buruk. Namun, Biden menjilat ludah sendiri dan mengunjungi Arab Saudi untuk berunding dengan MbS.

Persaingan Erdogan vs Kilicdaroglu memang sangat keras. Pemilu kali ini dianggap yang paling sengit sehingga masyarakat terpecah.

Pemilu Turki kali ini adalah pertarungan identitas antara politik Islam yang ingin melawan hegemoni Barat, melawan politik liberal yang ingin mengembalikan Turki sebagai bagian dari Barat.

Erdogan berada pada posisi yang tidak menguntungkan karena kebijakan ekonominya dianggap menyebabkan inflasi tinggi dan pengangguran meluas. Erdogan gagal menangani bencana gempa bumi besar pada Februari lalu yang menyebabkan korban tewas sampai 50 ribu jiwa.

Dengan dua rapor merah itu, oposisi yakin bisa mendongkel Erdogan. Analis politik dan media liberal Turki mengeluarkan berbagai survei yang menyebutkan kekuasaan Erdogan bakal berakhir.

Jajak pendapat dari berbagai lembaga survei selama beberapa pekan menunjukkan Kilicdaroglu lebih unggul dibandingkan Erdogan. Hasil survei itu dipublikasikan seiring dengan kencangnya persepsi popularitas Erdogan tergerus tingginya inflasi dan melonjaknya biaya hidup.

Salah satu lembaga survei menyebutkan Kilicdaroglu akan menang satu putaran. Ternyata semua ramalan itu meleset.

Melihat kenyataan ini, jurnalis David Hearst menyimpulkan bahwa Erdogan tidak disukai oleh Barat bukan karena ia otoriter dan tidak demokratis. Erdogan tidak disukai karena dia pemimpin yang independen dan tidak bisa disetir oleh kepentingan luar.

Erdogan bukan pemimpin tipe Mr Yesman alias Pak Penurut yang hanya menjadi boneka kekuasaan.

Erdogan effect menjalar ke berbagai belahan dunia Islam, termasuk Indonesia. Hal yang sama terjadi ketika Datuk Anwar Ibrahim terpilih sebagai perdana menteri Malaysia 2022 yang lalu.

Ada gelombang Anwar Ibrahim effect yang diharapkan menjadi tonggak kebangkitan politik Islam yang toleran tetapi independen.

Isu independensi dalam pemilu presiden Indonesia 2024 menjadi perdebatan panas. Ada calon-calon presiden yang dianggap tidak independen karena menjadi petugas partai, atau menjadi penerus petahana.

Ada juga calon presiden yang independen, tidak menjadi boneka, dan menjanjikan perubahan.

Akankah pendukung Anies mengharapkan Erdogan Effect? Sangat mungkin.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Antara Ganjar dengan Endorsement Jokowi dan Tirakat Anies Tanpa Kudus


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler