jpnn.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI-7DRR) di posisi 6,00 persen.
Sementara itu, suku bunga deposit facility 5,25 persen dan lending facility 6,75 persen.
BACA JUGA: Harga Tiket Pesawat Mahal, Maskapai Disarankan Kurangi Batas Atas
Gubernur BI Perry Warjiyo menuturkan, ada sejumlah faktor yang menjadi pertimbangan BI menahan suku bunga acuan.
Di antaranya, dari sisi global, perbaikan ekonomi lebih rendah daripada perkiraan, sedangkan ketidakpastian pasar mulai berkurang.
BACA JUGA: Biayai Proyek Strategis, Pemda Bisa Lirik Pasar Modal
Ekonomi AS tumbuh melambat, begitu juga dengan Tiongkok. Selain itu, perbaikan ekonomi Eropa diperkirakan lebih lambat.
Demikian pula perbaikan ekonomi negara-negara Amerika Latin dan Timur Tengah lebih rendah daripada prakiraan.
BACA JUGA: Penyebab Utama Nominal Transaksi Nontunai Masih Sedikit
’’Perkembangan ekonomi global di satu sisi memberikan tantangan dalam mendorong ekspor. Namun, berkurangnya ketidakpastian keuangan global di sisi lain berdampak positif bagi aliran masuk modal asing ke negara berkembang, termasuk Indonesia,’’ jelasnya, Rabu (25/4).
Dari dalam negeri, indikator ekonomi domestik cukup baik. Dengan begitu, ekonomi Indonesia ke depan diprediksi positif.
Salah satunya, pertumbuhan ekonomi triwulan I 2019 diperkirakan tetap kuat ditopang permintaan domestik.
Konsumsi tetap tinggi didukung terjaganya daya beli dan keyakinan masyarakat serta berlanjutnya stimulus fiskal, termasuk melalui bantuan sosial dan belanja terkait pemilu.
Nilai tukar rupiah juga menguat ditopang kinerja sektor eksternal yang terus membaik.
Penguatan itu tidak terlepas dari perkembangan aliran masuk modal asing yang besar ke pasar keuangan domestik, termasuk ke pasar saham yang berlanjut pada April 2019.
Selanjutnya, inflasi pada Maret 2019 tetap rendah dan terkendali. Inflasi yang dalam tren menurun beberapa tahun terakhir, termasuk terkendalinya inflasi kelompok pangan, berdampak positif pada tetap terjaganya daya beli masyarakat.
’’Khususnya masyarakat kelompok menengah bawah,’’ imbuhnya.
Peneliti INDEF Bhima Yudhistira mengatakan, BI mempertimbangkan faktor stabilitas makro karena dalam sepekan terakhir pascapemilu, kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG) turun 1,68 persen dan rupiah terdepresiasi 1 persen terhadap dolar AS.
Jika BI terburu-buru turunkan bunga acuan, aliran modal dikhawatirkan keluar makin deras.
’’Jadi sudah tepat BI menahan bunga acuan,” ungkapnya.
Hal yang perlu diwaspadai saat ini adalah kenaikan harga minyak mentah yang sudah tembus di atas USD 75 per barel.
Harga minyak yang meningkat menyebabkan defisit migas dan menggerus cadangan devisa.
Tantangan lain berasal dari kinerja ekspor-impor yang masih menunjukkan perlambatan.
Foreign Direct Investment (FDI) atau investasi langsung sebagai penyumbang pasokan valas belum bisa diharapkan.
Pada semester II, seluruh dunia menunggu langkah The Fed apakah menurunkan bunga atau menunda. Ruang penurunan bunga acuan pada akhir tahun cukup terbuka lebar.
’’BI dipastikan akan meniru langkah The Fed,” timpalnya.
Ekonom Asia Development Bank Institute (ADBI) Eric Sugandi menyatakan, terkendalinya inflasi, rupiah yang menguat, menjadi alasan BI mempertahankan suku bunga.
Ke depan yang perlu diwaspadai, pasar finansial global di AS bergejolak.
’’Risiko lainnya adalah perlambatan ekonomi Tiongkok mengganggu pemulihan ekspor Indonesia,” tandasnya. (ken/nis/c7/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Semoga Harga Tiket Pesawat Kian Murah Agar Inflasi Terjaga
Redaktur : Tim Redaksi