Alhamdulillah! Setelah 17 Tahun Dipasung Akhirnya...

Senin, 02 Mei 2016 – 02:46 WIB
Mahmud Masud (kiri). FOTO: Malut Post/JPNN.com

jpnn.com - Mahmud Masud tak paham apa yang merasukinya. Begitu sadar, sang adik telah tergeletak tak bernyawa di sisinya. Saat itu, hidup Mahmud langsung berubah. Divonis gangguan mental, dijauhi tetangga, hingga hidup dalam pasungan 17 tahun lamanya.

WAHYUDIN MADJID, Pulau Hiri

BACA JUGA: Keluarga Nahkoda Brahma 12: Katanya Perusahaan Bayar Tebusan

Suasana rumah keluarga Masud di Kelurahan Togolobe, Kecamatan Pulau Hiri, Kota Ternate tampak berbeda seminggu belakangan.

Minggu (24/4) lalu, anak nomor tiga dalam keluarga tersebut kembali pulang. Kepulangan Mahmud Masud memang terasa luar biasa. Meski ia hanya meninggalkan rumah selama setahun lebih tiga bulan.

BACA JUGA: Dari Telenovela, Musik sampai Sepak Bola

Ketika meninggalkan rumah, Mahmud bukan sekadar ‘merantau’. Pria 43 tahun itu dikirim ke Manado untuk mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Prof. dr. VL. Ratumbusyang. Tak heran, kepulangannya, dalam kondisi yang jauh lebih baik, memberi warna tersendiri bagi rumah sederhana tersebut.

Ketika disambangi Malut Post (JPNN Group), Minggu (1/5), Mahmud tengah berbaring di kamarnya. Ia mengeluh kaki kanannya sakit. Putra pasangan Masud dan Komonyo itu terjatuh dari tempat tidur saat masih berada di RSJ Ratumbusyang.

BACA JUGA: Pengin Cantik Rogoh Rp 30 Juta, Eh...Pipi Sebelah Malah Turun

”Ingin mancing kalau kaki sudah sembuh,” katanya dalam bahasa daerah Ternate.

Dari caranya berkomunikasi, tak ada lagi tanda-tanda gangguan mental yang pernah diidapnya. Padahal selama 17 tahun sebelumnya ia harus bergelut dengan vonis gangguan mental. Vonis itu didapatnya setelah tanpa sebab Mahmud membunuh adik kandungnya sendiri.

“Saat itu tahun 1997. Mahmud berusia 25 tahun. Dia sedang bersama adiknya. Tiba-tiba dia memotong kepala adiknya sampai meninggal,” kenang ibu kandung Mahmud, Komonyo, dengan raut wajah sendu.

Usai peristiwa berdarah itu, Mahmud selalu merontak. Ia tak bisa lagi diajak berkomunikasi. Keluarga lantas membawanya ke Ambon untuk diperiksa petugas medis.

”Mereka bilang dia gangguan jiwa. Untuk merawatnya, butuh biaya sekitar Rp 70 juta,” tutur wanita berusia 64 tahun tersebut.

Biaya sebesar itu mustahil dapat disediakan Komonyo. Ia hanya seorang petani kecil. Suaminya telah lama berpulang, sejak Mahmud masih berusia 13 tahun. Maka Mahmud harus dibawa kembali ke kampungnya.

Di Togolobe, warga sekitar ketakutan dengan keberadaan Mahmud. Keluarga Masud mafhum. Lantaran sering merontak, dengan berat hati Mahmud pun dipasung. ”Kami khawatir ia membahayakan orang lain,” kata Komonyo.

Maka selama 17 tahun, Mahmud ‘berteman’ rantai dan kayu yang dipasang di kedua kakinya, di ruang bekas kamar mandi yang terletak di samping rumah.

Keluarga sempat berpikir tak ada lagi masa depan untuk Mahmud. Tak ada harapan ia bisa menjalani hidup dengan normal kembali. Memancing dan berkebun untuk menghidupi keluarganya, seperti yang kerap ia lakukan semenjak sang ayah wafat.

”Sebelum sakit, dia adalah pengganti ayah kami. Tulang punggung keluarga,” ujar sang adik, Karman Masud.

Beruntung, 2014 lalu, seorang bidan bernama Atia Ishak mendengar cerita tentang kondisi Mahmud. Bidan yang peduli ini lantas berkoordinasi dengan Wali Kota Ternate, Burhan Abdurrahman untuk memperjuangkan pengobatan bagi Mahmud. Burhan sendiri yang datang ke Hiri untuk melepaskan pasungannya.

”Kami bersyukur karena Ibu Bidan Atia dan Pak Wali Kota membantu biaya transportasi dan kebutuhan selama di Manado,” ucap Komonyo.

Selama di Ratumbusyang, Mahmud terus menunjukkan progres kesembuhan yang signifikan. Puncaknya, pertengahan April lalu, pihak RSJ membolehkan pria berambut lurus ini pulang. Dengan rasa bahagia membuncah, Karman segera bertolak ke Manado menjemput sang kakak. Keduanya pulang menumpangi KM Maria Indah.

”Saya sangat bersyukur saat mendengar dia diperbolehkan pulang. Bagaimana pun juga, dia masih tetap harapan keluarga kami, kakak yang pernah menghidupi kami,” kata Karman seperti dilansir Malut Post (JPNN Group), Senin (2/5).

Saat ini, Mahmud juga mulai berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitarnya. Label “gila” yang dulu kerap disandangkan padanya sudah tak ada lagi. Warga yang dulu ketakutan melihatnya, kini mulai menerimanya sebagai bagian dari mereka.

”Dulu anak-anak sampai orang dewasa ketakutan kalau lihat Mahmud. Sekarang tidak lagi,” tutur Tinambah Hasan, salah satu tetangga Mahmud.

Hal sederhana yang kini sudah bisa dilakukan Mahmud kadang membuat terharu keluarganya. Mandi, misalnya. Seingat Waida Masud, adik Mahmud, kakaknya tak pernah mandi sejak dipasung. ”Sekarang sudah bisa mandi sendiri. Jadi wajahnya kelihatan lebih segar,” kata Waida sembari tersenyum.(JPG/cr-03/kai/fri)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ravi Murdianto, Suka Menembak dengan Senjata Laras Panjang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler