Ali Imron: Saya Ketika Itu Setara Letda

Rabu, 07 Desember 2016 – 12:07 WIB
Ali Imron. Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com - SEBAGIAN masyarakat Indonesia mungkin saja tidak lagi mengingat peristiwa bom Bali II yang terjadi 1 Oktober 2005 lalu.

Namun bagi Ali Imron, salah seorang pelaku yang dijatuhi hukuman seumur hidup ini, peristiwa tersebut sampai saat ini masih terus membayang.

BACA JUGA: SIMAK! Testimoni Keajaiban di Hari AIDS Sedunia

Ali belum mampu menghapus ingatan, akibat perbuatannya di Kuta dan Jimbaran bersama sejumlah pelaku lain, 23 orang tewas dan 196 lainnya luka-luka.

Itu belum akibat lain, hancurnya perekonomian masyarakat Bali akibat sepinya kunjungan wisatawan.

BACA JUGA: Syiar Agama ke Pelosok, Luar Biasa Bapak Ini

Karena itu sebagai wujud penyesalan, Ali bertekad menghentikan aksi-aksi terorisme di Indonesia. Terpidana penjara seumur hidup ini pun siap membantu negara dengan memberi pemahaman yang benar tentang terorisme.

Di antaranya seperti yang terlihat pada seminar nasional "Preventif Justice dalam Antisipasi Perkembangan Ancaman Terorisme" yang digelar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), di Hotel Borobudur, Selasa (6/12).

BACA JUGA: Lebih Dekat dengan Arman Rumakat, Satpam Jahat yang Hafal Wajah 700 Siswa

"Dalam perjalanan, banyak pihak melontarkan pandangan seolah-olah terorisme itu rekayasa, konspirasi dan didasari di luar tujuan kami. Ini fakta, supaya masyarakat tahu. Kami di Jamaah Islamiyah, yang kami inginkan adalah NKRI menjadi negara Islam sebagaimana NII dulu," tutur Ali.

Menurut adik kandung dua pelaku bom Bali lainnya, Ali Ghufron dan Amrozi, keinginan mengubah Indonesia menjadi negara Islam akan tetap ada. Karena hadir dari sebuah ideologi yang tertanam begitu kuat dalam pikiran.

Bahkan jika nantinya Indonesia semakmur negara-negara Eropa sekalipun, pemikiran tersebut akan tetap bersemayam. Karena intinya, pelaku terorisme hanya menginginkan negara Islam.

"Jadi bukan kemakmuran dan ketidakadilan semu yang kami inginkan. Ini pemikirannya. Artinya sampai kiamat itu pemikiran tetap ada," tutur Ali di hadapan peserta seminar.

Karena hadir dari sebuah ideologi, maka menurut Ali, tak tertutup kemungkinan pelaku terorisme juga seseorang yang selama ini dikenal cukup baik di tengah masyarakat.

Contohnya pelaku bom bunuh diri saat salat Jumat di Mapolres Kota Cirebon 2011 lalu.

"Itu tetangganya (pelaku,red) sampai marah-marah (pada aparat yang menangkap,red). Karena mereka merasa pelaku orang yang sopan dan rajin beribadah," pungkasnya.

Ali dengan tegas mengatakan, apa yang disampaikan tidak mewakili siapapun. Selain itu juga tidak ada hubungannya dengan politik apapun.

Seutuhnya hadir dari keinginan membantu agar Indonesia terbebas dari aksi-aksi terorisme. Di antaranya, memberi masukan agar revisi Undang-Undang Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Terorisme ke depan dapat lebih baik.

Dalam pemaparannya, Ali secara blak-blakan juga mengisahkan latar belakang pendidikan terorisme yang dimiliki.

Setelah lulus dari Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Karang Asem Paciran, Lamongan 1991 lalu, dia menempuh pendidikan di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan.

Keinginan itu terwujud setelah bertemu sang kakak Ali Ghufron yang telah lebih dahulu menempuh pendidikan yang sama.

"Di sana semua kami pelajari, sampai penggunaan senjata kimia. Pendidikan kami sama seperti AKABRI. Cuma bedanya, di sana kami pelajari semua. Setelah lulus kami juga diberi pangkat. Saya ketika itu setara Letda. Kalau dihitung sampai sekarang mungkin sudah Kolonel," ucapnya.

Ali merupakan angkatan kesembilan, di bawahnya masih ada dua angkatan lagi yang juga banyak berasal dari Indonesia.

"Jadi sudah ratusan orang yang diciptakan di sana. Tapi baru sepuluh yang terlibat pengeboman di Indonesia. Itu sudah terkurangi Mucklas, Abdul Matin, Imam Samudera," tutur Ali.

Karena itu melihat latar belakang pendidikan terorisme yang cukup kuat dan jumlah lulusan yang begitu banyak, pria kelahiran Lamongan ini menilai Indonesia butuh hukum yang kuat.

"Saya kira hukum harus diperhatikan. Hukum masih lemah, kami dulu enak berceramah (tentang kekerasan,red). Terutama ketika reformasi," katanya.

Sementara itu terkait wacana pelibatan TNI dalam upaya penangkalan aksi terorisme, Ali menilai ada sisi positif dan negatifnya.

"Ketika TNI dilibatkan lagi, maka akan terjadi seperti dulu. Kami lari ke Afghanistan itu gara-gara TNI. Yaitu peristiwa Tanjungpriok dan Talang Sari Lampung. Jadi ketika dilibatkan, maka sakit hati terorisme ini akan muncul lagi. Tapi kalau tidak dilibatkan, jadi celah mengadu domba TNI dan Polri," kata Ali.(gir//jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Cerita Pilot Pesawat Tempur, Bangga jadi Elang Khatulistiwa


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler