Cerita Pilot Pesawat Tempur, Bangga jadi Elang Khatulistiwa

Selasa, 06 Desember 2016 – 00:07 WIB
READY TO FLIGHT. Kiri: Komandan Skadron I Elang Khatulistiwa, Letkol Pnb Agung Indrajaya. Kanan: Anggota Skadron I Elang Khatulistiwa, Mayor Pnb IGN Adi Brata. Mereka tengah bersiap-siap untuk mengangkasa, belum lama ini. Foto: Penerangan Lanud Supadio for Rakyat Kalbar/JPNN.com

jpnn.com - PILOT pesawat tempur harus siap siaga terbang kapan saja untuk menjaga kedaulatan NKRI.

Ambrosius Junius, Supadio

BACA JUGA: Sopir Taksi Ini Hatinya Baik Banget

Terbang saat cahaya alam tak mendukung tentu berbeda ketika matahari masih bersinar. Meskipun, pada prinsipnya sama.

"Terbang pada malam hari membutuhkan konsentrasi lebih karena panca indera kita, terutama penglihatan, akan jauh berkurang," terang Komandan Skadron 1 Elang Khatulistiwa, Letkol Pnb Agung Indrajaya, yang baru saja mendarat setelah latihan terbang malam di Crew Room Lanud Supadio, Kubu Raya, Kamis (1/12).

BACA JUGA: Si Cantik Ini Memilih Bertani, Gemes

Karena kurangnya cahaya, maka flight instrument (instrumen penerbangan) di kokpit perlu pengecekan lebih seksama.

Sebab, selain instrumennya banyak, angka-angka maupun tulisan di penunjuk ketinggian hingga magnetic compass-nya terbilang kecil.

BACA JUGA: Pak JK Menjemput Presiden, Payung Biru Itu Trending Topic

Tak hanya itu, pandangan di luar jendela kokpit pun berbeda.

"Jika pada siang, ketika kita memasuki awan, bisa memprediksi ketebalan awan. Sedangkan malam lebih susah, karena semuanya hitam," jelas Agung.

Belum lagi kecenderungan terjadinya vertigo sangat besar pada penerbangan malam.

"Jika itu (vertigo) terjadi, kita sulit membedakan mana atas dan bawah. Jika cuaca cerah, antara bintang di langit dan cahaya lampu dari rumah penduduk yang ada di bawah (ground), dalam penglihatan kita bisa terbalik," bebernya.

Meskipun di dalam kokpit terdapat flight instrument yang bisa memberikan informasi tentang situasi penerbangan, seperti attitude indicator (indikator ketinggian) maupun artificial horizon, tetap saja alat tersebut dibuat oleh manusia.

Menurut Agung, tidak bisa diandalkan 100 persen, artinya bisa error dan tidak berfungsi.

“Itu harus kita waspadai. Oleh karena itu selalu diingatkan kepada penerbang agar selalu teliti dan tidak hanya mengandalkan satu alat saja," terangnya.

Sebagai yang dituakan di Skadron 1, Agung selalu mengajak semua penerbang, air crew, dan ground crew, berdoa menurut agama dan keyakinan masing-masing sebelum flight.

"Kami di sini meyakini keselamatan, keberkahan, itu berasal dari Allah SWT. Saat briefing, self briefing, menuju dan masuk ke dalam pesawat, saat akan landing (mendarat) selalu memohon perlindungannya. Dan setelah turun dari pesawat selalu mengucap syukur atas perlindungan serta keselamatan yang telah diberikan-Nya," papar dia.

Menjadi penerbang tempur, lanjut Agung, sangat rumit. Teritori yang harus dijaga mencapai tapal batas udara Indonesia.

Dan, tidak semua penerbang bisa menerbangkan pesawat tempur yang bisa bermanuver, tak seperti pesawat-pesawat komersial.

"Di sini kami disebut Elang Khatulistiwa, kebanggaan itu melekat dalam diri kami. Ground crew pun punya kebanggaan, tidak semua teknisi dirgantara bisa menangani pesawat tempur," tegasnya.

Menyandang keanggotaan Elang Khatulistiwa pun tidak mudah. Setelah menjalani pendidikan Taruna di Akademi Angkatan Udara Yogyakarta, masih harus mengikuti seleksi khusus.

Ia berharap, kebanggaan yang dimilikinya sebagai skuad Skadron I Elang Khatulistiwa ini bisa ditularkan ke generasi berikutnya.

"Khusus yang berminat dengan kedirgantaraan agar tetap berlatih, belajar, serta menjaga kesehatan, sehingga pada saat seleksi masuk ke Taruna TNI AU bisa lolos dan siapa tau bisa terbang bersama kami di sini untuk menjaga udara Indonesia,” pungkas Agung.

Senada, Kepala Seksi Operasi dan Latihan (Kasiopslat) Lanud Supadio, Mayor Pnb I Gusti Ngurah Adi Brata.

Meski sudah setahun tidak terbang karena disekolahkan ke Tiongkok, pria kelahiran Denpasar, 12 Maret 1980, ini menyebut penerbangan malam sebagai refreshing.

"Ketika masuk ke dalam kokpit, butuh sedikit penyesuaian dengan keadaan sekitar sehingga harus rileks," ungkapnya.

Sebagai prajurit TNI AU, lanjut dia, memang sudah jadi tuntutan agar mampu melakukan penerbangan dalam kondisi apa pun.

"Latihan terbang malam ini menambah confident (percaya diri) saya,” terang Adi.

Menurut alumnus angkatan pertama SMA Taruna Bumi Khatulistiwa, Kubu Raya ini, manusia memiliki keterbatasan.

Terbang malam membutuhkan konsenterasi tinggi yang dipengaruhi respon otak.

Walhasil, menjaga kesehatan merupakan hal yang terpenting.

"Dulu saya merokok, dan disarankan oleh dokter sebelum terbang agar jangan merokok. Merokok akan menurunkan kadar oksigen yang ada di kepala," bebernya.

Untuk beradaptasi dengan gelapnya malam, di dalam crew room disinari cahaya redup untuk menghindari mata tidak terpapar cahaya terang terlalu lama.

Selain itu, pada saat menuju runway (landasan pacu), jika ada pesawat yang akan mendarat diusahakan untuk tidak melihat lampunya.

"Jika terpapar cahaya terlalu lama pada saat terbang malam, kita akan seperti buta sesaat. Riskan sekali," jelas Adi.

Ia menerbangkan pesawat tempur Hawk 100/200 dengan kualifikasi instruktur. Adi pun pernah bergabung di Tim Aerobatik Jupiter TNI AU 2012-2013.

Kala itu, ia masih berpangkat Kapten Penerbang. Kini, Adi juga bertugas mengajari penerbang junior.

"Saya berharap ada putra-putri daerah di sini menjadi penerbang tempur, sehingga bisa bergabung di Skadron 1 Elang Khatulistiwa maupun skadron lain yang berada di seluruh Indonesia," tandasnya. (*/sam/jpnn)

 

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Hujan, Takbir, dan Tangisan Haru...Jamaah Padang Carter Pesawat


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler