Amandemen UUD 45 untuk Perbaiki Ketatanegaraan

Kamis, 15 Desember 2011 – 19:04 WIB

JAKARTA - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hajriyanto Yasin Thohari menyatakan, sangat terbuka peluang mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 45), asalkan usul perubahannya memenuhi prasyarat dan tata cara dalam UUD 45

“Bagi MPR, sebagai lembaga negara yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD 1945, agenda melakukan perubahan UUD 1945 sangat terbuka,” ujarnya dalam Sarasehan Nasional Kelompok DPD di MPR bertema "Perubahan Kelima UUD 1945: Konsolidasi Demokrasi dan Jati Diri Bangsa" di gedung Nusantara IV, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (15/12).

Politisi Partai Golkar itu merujuk kewenangan MPR dalam Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD

BACA JUGA: Proyek Depsos Dikorupsi, Politisi Demokrat Dituntut 2,5 Tahun Bui

Sedangkan tata cara usul perubahan konstitusi adalah ketentuan Pasal 37 ayat (1), bahwa usul perubahan pasal­pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang­kurangnya 1/3 jumlah anggota MPR; dan ayat (2), bahwa usul perubahan tersebut diajukan tertulis dan ditunjukkan jelas bagian yang diusulkan beserta alasannya.

“Mengubah UUD 1945 tidak tabu, asalkan menjadi kehendak kolektif, merupakan pilihan demi menjaga kelarasan dan kelangsungan bangsa dan negara,” tegasnya.

Hajriyanto mengingatkan, perubahan kelima UUD 1945 tidak mudah terwujud sebab usul perubahan UUD 1945 harus memenuhi prasyarat atau tata cara dalam Pasal 37 ayat (3) dan (4) UUD 1945 bahwa untuk mengubah pasal­pasal UUD 1945 maka sidang MPR dihadiri sekurang­kurangnya 2/3 jumlah anggota MPR; dan putusan untuk mengubahnya dengan persetujuan sekurang­kurangnya 50 persen plus 1 anggota MPR.

“UUD 1945 tidak sakral, dan tidak perlu disakralkan, meskipun perubahan konstitusi membutuhkan prasyarat yang tidak mudah
Tidak ada konstitusi yang sempurna, karena konstitusi merupakan resultante kebutuhan suatu bangsa atau negara, juga kristalisasi pemikiran anak-anak negeri yang berkembang merespon kebutuhan

BACA JUGA: Mabes Belum Kirim Pengganti Kekasih Angie

Wacana mengubah UUD 1945 di arena publik adalah wajar, menunjukkan bahwa masyarakat kita sangat dinamis
Partisipasi publik justru wajib ditampung guna memperkaya alternatif,” ujar Hajriyanto.

Ketua Bidang Keagamaan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar (2009-2015) itu menyatakan,perubahan kesatu, kedua, ketiga, dan keempat UUD 1945 mengandung kelemahan konsepsional, utamanya yang strategis

BACA JUGA: KPK Klaim Selamatkan Rp152,9 Triliun

Makanya, beberapa tahun kemudian bermunculan berbagai macam kritikan dan keluhan, bahkan kecaman.

“Akhir-akhir ini orang mempertanyakan mengapa kita meniadakan GBHN (garis-garis besar haluan negara) dari sistem ketatanegaraan kita, Eka Prasetya Pancakarsa atau P4 (Pedoman Pengamalan dan Penghayatan Pancasila), dan Sidang MPR sebagai lembaga pertanggungjawaban formal presiden dan wakil presidenSering kali kita tidak siap ketika menghadapi perubahan, utamanya menyangkut konsep-konsep yang strategisTidak jarang, karena ketidaksiapan itu kita menemukan kelemahan-kelemahan yang ironisnya terungkap setelah terjadi perubahan UUD 1945.” (fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Polisi Telisik Motif Penayangan Video


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler