Ametis Kalimantan Obral Harga, Akik Nian Kalah Pasaran

Jumat, 08 Januari 2016 – 12:34 WIB
Batu mulia atau batu akik Nian asal Desa Nian, Kecamatan Miomaffo Tengah Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). FOTO: Timor Express/JPNN.com

jpnn.com - Awal tahun 2015, Desa Nian di Kecamatan Miomaffo Tengah Kabupaten TTU ramai diperbincangkan. Semua orang ingin kesana setelah mendengar ceritera tentang Batu Nian, batu mulia atau batu akik yang tengah buming saat itu. Kini semuanya berubah. Kenapa?

TOMMY AQUINODA, Kefamenanu

BACA JUGA: Ingat Kekasih, Aremania Itu Dihajar, Darah Mengucur Deras...Ya Allah

Awal bulan Mei 2015 lalu, saya mengunjungi Desa Nian. Sepanjang jalan terdengar bunyi mesin gurinda. Banyak orang berjubel di beberapa tempat. Yang dipotong bukan besi atau keramik. Tetapi bongkahan batu yang dipotong kemudian dipoles menjadi batu cincin dan pernak-pernik lainnya. Itulah batu akik Nian, batu mulia yang tak kalah kualitas keindahannya dibandingkan dengan batu mulia dari daerah lain.

BACA JUGA: Riuhnya MK Sidangkan 51 Gugatan Pilkada

Kini, bunyi gurinda jarang bahkan tak lagi terdengar di Desa Nian. Pasaran batu akik kian lesu. Orang tak lagi bergairah untuk mengoleksi batu mulia. Ceritera tentang batu akik Nian seakan sudah berakhir seiring dengan senyapnya ceritera batu akik.

“Dulu masyarakat di sini jadi mata pencaharian dengan poles batu. Tapi sekarang orang su malas poles batu. Orang malas karena buat habis cincin, tidak ada orang yang datang beli. Sedangkan untuk poles, butuh biaya untuk beli kertas pasir, butuh tenaga dan lain sebagainya,” ujar salah satu warga Nian, Ferdi Fatu dengan polos.

BACA JUGA: Biadab! Mengapa Ini Harus Terjadi? Sama-sama Suporter dari Jawa Timur

Kukuh Pribadi, instruktur dari Mutumanikan Nusantara Indonesia, lembaga non formal yang membina para pengrajin lokal di Desa Nian, punya ceritera tentang 'kebangkitan' dan 'kejatuhan' batu akik Nian.

Kepada Timor Express (Grup JPNN.com), Selasa (5/1) di kediamannya, pria yang akrab disapa Mas Kukuh ini masih tetap mengakui keistimewaan batu Nian. Bukan hanya soal kekerasannya, tetapi batu Nian banyak varian, baik silica yang terbentuk dari kuarsa dan silica yang terbentuk dari unsur mineral logam. Unsur-unsur inilah yang membuat batu Nian punya banyak motif yang sulit ditemukan di daerah lain.

Karena keistimewaan batu akik Nian, jelas Mas Kukuh, dia berani mencari chanel di Surabaya. Tujuannya agar para pengrajin lokal di Nian bisa terus diberdayakan dan hasil produksinya bisa dijual secara meluas, tak hanya di Kota Kefamenanu atau di NTT. Alhasil, batu Nian go nasional. Di beberapa pusat perbelanjaan yang ada di Kota Surabaya, batu Nian dipajang. Mulai dari yang masih berbentuk bongkahan sampai yang sudah dipoles menjadi mata cincin dan perhiasan lainnya.

“Awal bulan Agustus 2015, batu Nian bisa berbicara banyak ketika ada ada expo besar-besar di beberapa pusat perbelanjaan di Surabaya. Batuan kita laris manis. Hasil produksi para pengrajin lokal Nian bisa lima kali saya kirim,” ujarnya sembari memamerkan aneka mata cincin yang diproduksi para pengrajin binaannya.

Tanggal 12 Oktober 2015, sebut Mas Kukuh, menjadi hari kejatuhan batu akik Nian. Pemicunya adalah masuknya batu jenis ametis dari Kalimantan ke pusat-pusat perbelanjaan di Kota Surabaya. Bukan soal batu akik Nian kalah dalam hal kualitas. Tetapi pernak-pernik yang terbuat dari batu ametis dijual dengan harga murah meriah. Untuk mata cincin saja, harganya cuma enam ribu rupiah.

“Batu ametis dari Kalimantan masuk, pasaran batu Nian langsung kalah. Satu mata cincin mereka jual dengan enam ribu rupiah. Harganya murah meriah pasti diserbu orang. Batuan kita yang masih sempat bertahan hanya jenis rodorosit bergaris dan dendrit (fosil terperangkap dalam batu),” sebut pria asal Tulung Agung, Jawa Timur itu.

Menurut Mas Kukuh, penjualan aneka perhiasan dari batuan ametis Kalimantan dengan harga murah meriah, sangatlah tidak masuk akal dalam pola pengrajin batu mulia. Namun itulah faktanya.

“Mereka pasti gunakan mesin masal. Bongkahan dimasukan ke mesin dalam jumlah besar dan langsung menghasilkan banyak mata cincin atau pernak-pernik lainnya. Ini yang buat kita nyonyor karena kita masih pakai tenaga manusia untuk memoles batu menjadi perhiasan. Tidak masuk akal memang dalam pola pengrajin, tetapi kita mau bilang apa,"ungkap alumnus IKIP Malang itu.(boi/fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Supir Bus Titip Mayat Eko sama Saya


Redaktur : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler