Anak Buah Suami Inneke Didakwa Menyogok Pejabat Bakamla

Kamis, 09 Maret 2017 – 23:03 WIB
Kursi terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) mendakwa Marketing Operasional PT Merial Esa (ME) Indonesia Stefanus Hardy telah menyuap empat pejabat Badan Keamanan Laut (Bakamla).

JPU mendakwa Stefanus bersama-sama dengan Direktur Utama PT ME Fahmi Darmawansyah dan anak buahnya, Adami Okta memberi suap secara bertahap dalam kurun waktu November 2016-Desember 2016.

BACA JUGA: KPK Segera Bawa Suami Inneke ke Pengadilan Tipikor

Motif suap adalah untuk memenangkan PT Melati Technofo Indonesia (MTI) milik Fahmi dalam proyek pengadaan satelit monitoring Bakamla. "Pemberian beberapa kali secara bertahap yang seluruhnya SGD 209.500, USD 78.500 dan Rp 120 juta," kata Jaksa Kiki Ahmad Yani di persidangan Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (9/3).

Sedangkan pejabat Bakamla yang menerima suap antara lain Eko Susilo Hadi selaku Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerja Sama merangkap pelaksana tugas Sekretaris Utama (Sestama) Bakamla, Laksamana Pertama TNI Bambang Udoyo (Direktur Data dan Informasi Bakamla), Nofel Hasan (Kepala Biro Perencanaan dan Informasi Bakamla) dan Tri Nanda Wicaksono (Kasubag TU Sestama Bakamla).

BACA JUGA: Anak Buah Suami Inneke Segera Disidang

Jaksa menjelaskan, suap berawal saat PT ME dan PT MTI mengikuti lelang pengadaan di Bakamla dalam proyek pengadaan drone dan monitoring satelitte.

Keikutsertaan dua perusahaan milik Fahmi dimulai dari kedatangan Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi selaku narasumber bidang perencanaan dan anggaran bersama  Kepala Bakamla Arie Soedewo ke kantor PT ME di Jakarta Pusat.

BACA JUGA: KPK Perpanjang Masa Penahanan Deputi Bakamla

Merujuk surat dakwaan itu, Fahmi Habsy sekitar Maret 2016 bertemu Fahmi Darmawansyah yang didampingi oleh  Adami Okta. "Pada saat itu Ali Fahmi menawarkan kepada Fahmi Darmawansyah untuk main proyek di Bakamla," kata JPU membaca surat dakwaan.

Jika bersedia, maka Fahmi Darmawansyah yang juga dikenal sebagai suami aktris Inneke Koesherawati itu harus mengikuti arahan Fahmi Habsy supaya bisa memenangi tender pengadaan di Bakamla. "Dengan syarat Fahmi Darmawansyah memberikan fee sebesar 15 persen dari nilai pengadaan," ungkap jaksa.

Usai pertemuan itu, Fahmi bersama Adami bertemu Fahmi Habsy. Dalam pertemuan itu Fahmi Habsy menyampaikan bahwa anggaran proyek monitoring satelitte Bakalma sebesar Rp 400 miliar.

Pada pertemuan yang sama, Fahmi Habsy meminta down payment (DP) sebesar enam persen dari nilai proyek untuk mengurus proses pemenangan. Selanjutnya, Fahmi Habsy memperkenalkan Stefanus kepada Fahmi Darmawansyah.

Fahmi Habsy juga merekomendasikan Stefanus untuk membantu PT ME mengikuti proses lelang pengadaan alat monitoring satelitte.

"Karena Terdakwa sudah mengenal orang-orang di Bakamla, selanjutnya Fahmi Darmawansyah mengangkat terdakwa sebagai marketing sekaligus operasional PT Merial Esa," beber Jaksa.

Menindaklanjuti permintaan uang muka 6 persen, maka Hardy dan Adami memberikan uang yang berasal dari Fahmi Darmawansyah sejumlah Rp 24 miliar dalam bentuk dolar Singapura kepada Fahmi Habsy. Penyerahan dilakukan pada 1 Juli 2015 di Hotel Ritz Carlton, Jakarta.

Jaksa juga menuturkan, ada permintaan fee 7,5 persen dari Kepala Bakamla Arie Sudewo. Menurut JPU, Arie menyampaikan permintaan itu kepada Eko.

Selanjutnya, Eko menyampaikan permintaan itu kepada Adami. Hanya saja, Adami menyanggupi memberikan dua persen dulu.

Pada 15 November 2016 saat kunjungan ke Jerman, Eko Susilo memberitahu Adami bahwa dua persen yang disanggupi akan diberikan kepada Nofel Hasan sebesar Rp 1 miliar, Bambang Udoyo (Rp 1 miliar) dan untuk dirinya sendiri (Rp 2 miliar).

Sepulang dari kunjungan ke Jerman, Adami menyampaikan permintaan Arie Soedewo ke Fahmi. Adami lalu dikenalkan oleh Stefanus kepada Bram Louis Alexander yang memiliki kenalan pemilik money changer bernama Achad Hakim alias Koh Achad.

Mendengar permintaan itu, Fahmi Darmawansyah memerintahkan Adami untuk menukarkan uang Rp 1 miliar menjadi dolar Singapura (SGD) ke money changer mili Koh Achad.

"Pada 25 November 2016, jam 10.00 WIB, terdakwa bersama Adami memberikan uang sebesar SGD 104.500 kepada Nofel Hasan, di ruang kerja Nofel Hasan, di lantar dasar kantor Bakamla," ungkap Jaksa.

Penyerahan selanjutnya pada 1 Desember 2016, Adami atas sepengetahuan Fahmi Darmawansyah memberikan uang Rp 120 juta kepada Tri Nanda Wicaksono di kantor PT Merial Esa. Kemudian, pada 8 Desember 2016, sebesar SGD 5 ribu diserahkan Adami kepada Bambang Udoyo, di ruangan di kantor Bakamla.

Menurut jaksa, SGD 5 ribu itu diberikan untuk  memenuhi kekurangan pemberian SGD 100 ribu pada dua hari sebelumnya yang telah diserahkan oleh Adami. "Sehingga uang yang diterima Bambang Udoyo seluruhnya berjumlah  SGD 105.000," kata Jaksa.

Pada 8 Desember pula Adami menukarkan uang yang diberikan Fahmi Darmawansyah Rp 2 miliar ke dalam bentuk USD  dan SGD. Uang itu ditukarkan menjadi SGD 100 ribu dan USD 78.500.

Pada 14 Desember 2016, Adami yang sampai di kantor Bakamla meminta terdakwa datang ke mobilnya untuk menitipkan SGD 100 ribu dan USD 78.500 yang dimasukan dalam amplop cokelat. Kemudian, Stefanus dan Adami bersama-sama masuk ke ruang kerja Eko Susilo.

"Kemudian terdakwa memberikan amplop berisi uang ke Eko Susilo," pungkas jaksa.

Atas perbuatannya,  Stefanus dijerat pasal 5 ayat (1) huruf a UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, juncto pasal 64 ayat (1) KUHP. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Periksa Kepala Bakamla


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler