jpnn.com, JAKARTA - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hermawan Sulistyo menilai aparat TNI - Polri sudah berupaya maksimal dalam memitigasi kerusuhan pada 21-22 Mei 2019 buntut aksi demo di depan Bawaslu, Jakarta Pusat. Menurutnya, anggota TNI maupun Polri yang dikerahkan untuk pengamanan justru bertindak terlalu baik kepada pedemo.
"Saya dan para akademisi menganalisis aparat kita terlalu baik. Aparat kita cenderung takut kena HAM," kata Hermawan saat dihubungi, Sabtu (25/5). Baca juga: Pengakuan Lelaki yang Dikeroyok Brimob Pada Kerusuhan 22 Mei
BACA JUGA: KPAI Beberkan Data Soal Anak yang Jadi Korban di Aksi 22 Mei
Profesor riset yang akrab disapa dengan panggilan Kikiek itu menjelaskan, aparat keamanan seharusnya membubarkan massa yang telah melewati batas waktu berunjuk rasa pada pukul 18.00. Namun, polisi masih menoleransi massa aksi hingga malam hari untuk salat Isya dan bertarawih.
Kikiek justru menilai aksi unjuk rasa di depan Bawaslu pada 21-22 Mei mirip dengan skema kaos pada 1998. Penulis buku Palu Arit di Ladang Tebu itu menduga unjuk rasa pada 21 - 22 Mei 2019 didesain untuk menjadi kaos seperti Mei 1998 jelang Presiden Soeharto lengser.
BACA JUGA: Pengakuan Lelaki yang Dikeroyok Brimob Pada Kerusuhan 22 Mei
Prof. Dr. Hermawan Sulistyo MA
"Ini pola kerusuhan seperti yang terjadi pada Mei 1998, tetapi kemampuan aparat intelijen sudah lebih canggih. Jauh lebih canggih dari saat 1998," ulasnya.
BACA JUGA: Viral Video Brimob Hajar Pedemo, Ternyata Ini Faktanya
Lebih lanjut Kikiek membeber pengalamannya mengamati berbagai aksi. Menurutnya, tidak ada demonstran yang bisa bertahan lebih dari 12 jam sejak siang hingga malam, lalu berbuat kerusuhan pada dini hari.
Dalam insiden rusuh 21- 22 Mei 2019, katanya, kerusuhan terjadi di tempat yang jauh dari Bawaslu. "Artinya didatangkan orang lain. Dari pengumuman polisi orang yang ditangkap dari daerah, Jogja, Jatim, Jateng, Jabar, Banten, Medan dan NTB," kata Kikiek.
Baca juga: Kena Pepet Brimob dengan Tameng, Demonstran di Bawaslu Malah Berterima Kasih
Menurut Kikiek, ada kesamaan pola dalam rusuh 21-22 Mei 2019 dengan peristiwa Malari 1974 dan Mei 1998. Yakni ada pihak yang menggunakan cara-cara jalanan sebagai pemicu dampak politik yang lebih besar.
"Cara jalanan ini dibuat supaya ada trigger untuk punya dampak politis lebih besar. Pada kasus yang sekarang ini yang terjadi adalah pengondisian lingkungan politis dari awal, pemilu curang, ini itulah, segala macam, terutama dengan hoaks,” katanya.
Karena itu Kikiek juga menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melakukan langkah tepat karena menetapkan hasil Pemilu 2019 maju dari rencana semula pada 22 Mei 2019. Sebab, keputusan menetapkan hasil pemilu pada 21 Mei 2019 dini hari itu menguntungkan dari segi keamanan.
"Kalau sesuai setting pertama 22 Mei pasti meledak, lebih besar, akan lebih besar kerusuhannya," ucap Kikiek.(tan/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemilu 2019 Telah Usai, PWNU Ajak Seluruh Elemen Masyarakat Kembali Bersatu
Redaktur : Tim Redaksi