jpnn.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani memperingatkan soal resesi global kemungkinan akan terjadi pada 2023. Apabila itu terjadi maka Indonesia juga terkena dampak.
Resesi sendiri merupakan fenomena turunnya perekonomian dunia karena dipicu inflasi alias naiknya harga-harga.
BACA JUGA: RUU APBN 2023 Disetujui jadi UU, Kamrussamad Merespons, Singgung Soal Ancaman Resesi Global
Hal ini dapat dilihat dari tren kenaikan resesi Indonesia berpotensi mencapai tujuh persen, naik dari posisi Agustus 2022 yang sebesar 4,69 persen.
Permintaan ekspor beberapa produk unggulan seperti tekstil, furnitur, dan kerajinan dari Amerika Serikat serta Uni Eropa mulai melemah.
BACA JUGA: Sri Mulyani Khawatir Dunia Resesi Berjemaah, Indonesia Bagaimana?
Menurut praktisi restrukturisasi utang dari Frans & Setiawan Law Office Hendra Setiawan Boen, pelemahan juga terjadi pada komoditas seperti logam mulia, minyak, dan kelapa sawit.
"Padahal ekspor berkontribusi 23 persen terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal I-2022," ungkap dia dalam keterangan resmi, Jumat (30/9).
BACA JUGA: Menko Airlangga Hadiri Forum Ekonomi Dunia, Robi: Beliau Berpengalaman di Dunia Usaha
"Salah satu ekspor utama dan penggerak ekonomi Indonesia ialah komoditas sehingga pelemahan harga komoditas merupakan kabar kurang baik karena pasti memberi pengaruh kepada kinerja sektor usaha lain."
Dia melanjutkan demikian juga surplus perdagangan saat ini justru berubah menjadi defisit, terutama karena rupiah melemah cukup dalam terhadap dolar Amerika.
"Eksportir mungkin senang dolar menguat, tetapi importir pasti merana," imbuh Hendra.
Pada saat barang-barang pokok makin mahal akibat kenaikan harga BBM dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menembus Rp 15.000 maka Hendra mewanti-wanti bahwa rumah tangga akan mengalami pelemahan daya beli.
Akibatnya rumah tangga berhemat dengan cara mengurangi konsumsi secara besar-besaran terutama sektor yang tidak perlu seperti hal-hal bersifat rekreasi.
Langkah tersebut tentu akan memberikan tekanan tambahan pada ekonomi Indonesia.
Melemahnya konsumsi berarti permintaan terhadap produk barang dan jasa dari pelaku usaha akan sepi dan memengaruhi pendapatan, padahal beban operasional harus berjalan.
"Saya rasa krisis tahun depan akan berbeda dari resesi pada saat lockdown covid. Saat covid, rumah tangga dan pelaku usaha memiliki likuiditas cukup sehat hanya karena lockdown mereka tidak mudah mengeluarkan dan menerima uang sehingga menjelang akhir pandemi likuiditas mereka menjadi makin ketat."
"Ketika mulai recovery, muncul turbulensi keuangan sehingga membuat keuangan rumah tangga dan pelaku usaha di Indonesia makin berdarah," imbuh dia.
Menurut Hendra, resesi global tahun depan kemungkinan akan menaikkan angka permohonan pailit dan PKPU karena debitur yang utangnya sudah jatuh tempo dan dapat ditagih tidak memiliki arus kas yang cukup.
"Saran saya dalam menghadapi resesi kali ini ialah para pelaku usaha dan rumah tangga memerlukan endurance atau stamina agar mampu bertahan dalam jangka panjang, antara lain mulai mengerem pengeluaran yang tidak perlu dan menyisihkan uang agar punya dana tunai darurat," tambah dia.
"Apabila mau investasi maka sebaiknya ambil investasi berisiko rendah."
Bagi pelaku usaha, menurut dia, sebaiknya mulai melakukan restrukturisasi utang dengan kreditur agar tidak jatuh tempo pada saat resesi global melanda Indonesia.
"Masyarakat harus mewaspadai dengan resiko stagflasi yaitu inflasi dan kontraksi ekonomi yang terjadi bersamaan saat resesi ekonomi," pungkas Hendra. (rdo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ancaman Resesi Global, Bikin Harga Minyak Dunia Ambyar, Morat-marit
Redaktur & Reporter : M. Rasyid Ridha