JAKARTA - Anggaran daerah masih menjadi "target empuk" yang rawan dibajak elit daerahPola yang digunakan bermacam "macam, mulai bantuan sosial (bansos), bantuan partai politik, belanja penunjang operasional, sampai pelesiran mahal berkedok perjalanan dinas para pejabat daerah.
"Pembajakan anggaran ini mengkhianati kepentingan rakyat," kata Kepala Divisi Pengembangan Jaringan Daerah dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Hadi Prayitno di Hotel Ambhara, Jalan Iskandarsyah Raya, Jakarta Selatan, kemarin (19/12).
FITRA melakukan pemetaan berdasarkan hasil audit semester I tahun 2010 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap laporan keuangan daerah
BACA JUGA: Anas Kangen Makan di Warteg
Hasil yang diperoleh cukup mencengangkanBACA JUGA: MK Dituding Kerdilkan Hasil Temuan Tim Investigasi
"Kecenderungannya bansos hanya dibagikan oleh elit daerah kepada jaringan politik dan pengikutnya saja," terang Hadi.Modus penyimpangannya beragam
BACA JUGA: Bupati Simalungun Siap Jalani Penyelidikan di KPK
"Bahkan, terindikasi adanya bantuan fiktif," bebernyaCelah lain yang marak digunakan adalah belanja penunjang operasional bagi kepala daerah dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang tidak sesuai aturanHasil audit BPK kembali menemukan penyimpangan anggaran sebesar Rp 58,4 miliar"Padahal, setiap tahun BPK sudah membuat statement tidak boleh dianggarakanTapi, ini memang bagian dari modus yang sulit dikendalikan," ujar Hadi.Penyimpangan lain yang ditemukan BPK adalah penyalahgunaan bantuan parpol mencapai Rp 24,6 miliar"Bantuan ini telah menjadi beban baru bagi anggaran daerah dan tidak bermanfaat apapun bagi masyarakat," kritik Hadi lagi.
Berangkat dari hasil audit BPK itu, FITRA juga menemukan adanya penyalahgunaan belanja perjalanan dinas oleh elit "elit darah sebesar Rp 50,8 miliarModusnya mulai perjalanan fiktif sampai tidak adanya pertanggungjawaban yang memadai"Dana plesiran juga menjadi ajang tambahan uang penghasilan baru," sindirnya.
Semua ini semakin memperburuk kondisi keuangan daerah yang sudah sangat terbatasHadi mengingatkan pemerintah pusat selalu mengklaim anggaran ke daerah terus ditingkatkanTapi, sampai tahun 2010, porsi untuk daerah sebenarnya tidak pernah beranjak dari sekitaran 30 persenPadahal, sebanyak 70 persen urusan sudah diserahkan ke pemerintah daerah"Urusan diserahkan, sayangnya tidak diiringi dengan desentralisasi fiskalJadi, anggaran masih tetap didominasi pusat," katanya.
Keleluasaan daerah untuk mengelola keuangannya juga kian terbelengguIni disebabkan adanya kebijakan pemerintah pusat untuk menaikkan gaji atau belanja pegawai sebesar 15 persen"Sementara itu, rekrutmen pegawai negeri sipil yang harus dibiayai APBD seolah tidak bisa dihindari setiap tahunnya," ujar Hadi.
Akibatnya, lanjut dia, implementasi program akselerasi di bidang pendidikan, kesehatan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan hanya bersifat residual"Hanya kebagian sisa "sisanya saja, karena sebagian besar sudah dibelanjakan untuk kepentingan belanja pegawai dan birokrasi," tegasnya.
FITRA merekomendasikan sejumlah langkah untuk mencegah terulangnya kesalahan pengelolaan anggaran daerahDi antaranya, perubahan UU Perimbangan Keuangan Pusat "Daerah dengan memberikan kewenangan fiskal yang lebih luas dan alokasi yang lebih besar kepada daerahSelanjutnya, perlu moratorium (penghentian sementara) rekrutmen PNS Daerah dibarengi reformasi birokrasi tingkat daerah"Pengaturan penggunaan bansos, bantuan parpol, belanja operasional, dan perjalanan dinas harus diperketat," tandas Hadi(pri)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Atasi Kekumuhan Dilarang Main Gusur
Redaktur : Tim Redaksi