jpnn.com - Peringatan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi): ingin mengakhiri kekuasaannya tahun depan dengan baik atau tidak.
Jika Jokowi ingin mengakhiri kekuasaan dengan baik, jawablah suara-suara rakyat, perluaslah ruang demokrasi, perkuatlah gerakan antikorupsi, dan taatlah pada konstitusi.
BACA JUGA: Selamat Ulang Tahun, Presiden Mulyono
Ketiadaan iktikad baik untuk hal-hal tersebut menciptakan akhir kekuasaan Presiden Jokowi yang tidak baik. Tahun ke depan adalah tahun terakhir masa jabatan Jokowi di kursi kepresidenan.
Mari kita lihat, apakah Presiden Jokowi ini mau mengakhiri kekuasaannya dengan baik atau dengan berdarah-darah.
BACA JUGA: Lord & Luhut
Ultimatum itu bukan datang dari politisi atau aktivis oposisi, melainkan dari Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Melki Sedek Huang. Pernyataan itu langsung menjadi trending topic di Twitter sepanjang Kamis (22/6).
Pernyataan ini disampaikan menyusul surat yang dikirim kepada Presiden Jokowi. BEM UI dalam suratnya menyoroti berbagai hal yang dianggap menjadi indikasi kemerosotan demokrasi.
BACA JUGA: Cawe-Cawe Ala Jokowi dan Potensi Pemakzulan
Salah satunya adalah pengesahan UU Omnibus Law dan lemahnya fungsi kontrol oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). BEM UI juga menyoroti lemahnya komitmen terhadap pemberantasan korupsi.
Sehari sebelumnya mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo menyampaikan orasi politik pada ceramah kebangsaan bertajuk 'Oke Ganti Baru' di Jakarta Timur. Dia mengatakan kondisi politik Indonesia saat ini makin tidak terkontrol.?
Riuhnya temperamen politik menjelang pemilu makin hari tampak tidak terkontrol. Di mana-mana terlontark provokasi hanya untuk kepentingan masing-masing, jauh dari edukasi. Begitu ungkap Gatot.
Narasi ’berdarah-darah’ yang diungkapkan Melki Sedek itu seolah menjadi bensin yang bisa menyiram api. Beberapa waktu terakhir ini mulai bermunculan seruan supaya rakyat melakuan people power.
Pertemuan para aktivis demokrasi di Solo yang menampilkan Amien Rais dan kawan-kawan secara terang-terangan menyerukan rakyat bergerak untuk melakukan people power.
Menjelang Pilpres 2024, suhu demokrasi Indonesia makin panas. Pilpres akan menjadi ’moment of truth’ untuk memastikan apakah demokrasi Indonesia berjalan pada rel yang benar, terperosok pada kediktatoran, atau malah anarkisme.
Demokrasi adalah koridor sempit yang panjang dan berliku sehingga yang menitinya harus dengan cermat dan berhati-hati supaya tidak terpeleset dan jatuh ke dalam jurang.
Ibarat titian serambut dibelah tujuh, demokrasi terancam bahaya dari kiri dan kanan. Di sebelah kanan ada jurang otoritarianisme, sedangkan di sebelah kiri ada jurang anarkisme.
Jika terpeleset dan jatuh ke sebelah kanan, demokrasi akan dilalap oleh jurang otoritarianisme. Pemerintahan yang terlalu kuat dan mendominasi lembaga legistalif dan judikatif akan menghilangkan keseimbangan yang dibutuhkan untuk melewati titian.
Itulah yang disebut sebagai mekanisme checks and balances untuk menjaga keseimbangan demokrasi. Lembaga legislatif dibutuhkan untuk mengawasi dan menyeimbangi kekuatan eksekutif yang cenderung kuat dan korup.
Mahasiswa ilmu politik semester pertama suka mengutip power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang mutlak akan korup secara mutlak) sebagaimana pernyataan Lord Acton.
Oleh karena itu, kekuasaan tidak boleh dibiarkan berkuasa secara mutlak. Itulah pentingnya kekuatan penyeimbang dari legislatif.
Jika dua kekuatan itu kemudian melakukan kongkalikong, tidak ada penyeimbang lagi. Yang muncul adalah kekuatan mutlak yang akan membuat kondisi miring ke kanan dan tercebur ke jurang otoritarianisme.
Sebaliknya, pemerintahan yang lemah akan terancam oleh gerakan dari kiri dalam bentuk anarkisme publik. Kekuatan publik yang tidak terkendali akan menjatuhkan pemerintah ke jurang anarkisme.
Itulah gambaran yang diberikan oleh Daron Acemoglu dan James Anderson dalam buku ‘The Narrow Corridor: State, Societies, and the Fate of Liberty’ (2019). Kekuatan negara (state) dan kekuatan rakyat (society) berada pada posisi seimbang karena saling mengontrol dan mengawasi.
Dalam posisi seimbang itulah akan terjadi kebebasan demokrasi (liberty), karena tidak ada dominasi dari satu kekuatan terhadap lainnya.
Jurang kanan oleh Acemoglu dan Anderson disebut sebagai ‘Despotic Leviathan’, sedangkan jurang kiri disebut sebagai ‘Absent Leviathan'. Keseimbangan di tengah adalah ‘Shackled Leviathan’.
Leviathan adalah hantu laut yang digambarkan dalam buku berjudul sama karya Thomas Hobbes pada 1651. Hantu laut itu punya wajah banyak. Ia bisa menjadi dewa penolong tapi bisa juga menjadi monster penghancur.
Hobbes menggambarkan manusia hidup dalam kondisi saling memangsa satu sama lainnya. Hidup digambarkan sebagai “short, brutish, nasty, poor, solitary” (singkat, brutal, keji, melarat, dan sepi).
Oleh karena itu dibutuhkan kekuatan yang bisa mengatur kebrutalan tersebut supaya masyarakat tenang dan bahagia. Maka diperlukanlah pemerintahan yang kuat seperti Leviathan.
Bagi Acemoglu dan Anderson, kebebasan demokrasi dan kesejahteraan rakyat (prosperity) adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan maupun dipertukarkan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa demokrasi hanya bisa berjalan ketika rakyat kenyang sehingga masyarakat harus dikenyangkan dahulu, baru kemudian diberi demokrasi.
Indonesia—sebagaimana semua negara demokrasi di dunia—berada pada titian rambut dibelah tujuh. Saat ini, ketika Indonesia sedang memasuki tahun politik menjelang suksesi 2024, dua monster Leviathan itu akan terlibat dalam pertarungan sengit.
Di satu sisi rezim yang berkuasa berusaha mempertahankan dan memperpanjang kekuasaan. Di sisi lain ada kalangan oposisi yang ingin membuat perubahan.
Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa program pembangunan Presiden Jokowi tidak bisa dihentikan, unstoppable, harus jalan terus dan wajib dilanjutkan oleh presiden berikutnya.
Jokowi harus melakukan cawe-cawe untuk menjamin keberlanjutan program-programnya. Ia menggagas koalisi besar untuk memastikan kemenangan jagoannya.
Dalam perjalanannya, kekuatan legislatif, yang seharusnya menjadi penyeimbang, telah terkooptasi oleh kekuatan eksekutif. Keseimbangan untuk melewati titian serambut dibelah tujuh berada dalam ancaman.
Sebagian rakyat sudah gerah. Sebagian rakyat sudah ada yang menyerukan people power, lainnya menyerukan pemakzulan oleh DPR, seperti yang digagas oleh Denny Indrayana.
Dari Melbourne, Denny Indrayana menyerukan DPR melakukan impeachment atau pemakzulan terhadap Jokowi. Kata Denny, dosa-dosa politik Jokowi sudah cukup bertumpuk sehingga sudah layak bagi DPR untuk memakzulkannya.
Denny membandingkan pemakzulan Presiden Richard Nixon di Amerika Serikat akibat dosa skandal Watergate dengan dosa Jokowi dalam masuknya Moeldoko ke dalam kisruh sengketa kepengurusan Partai Demokrat.
'Moeldokogate' adalah istilah dari Denny untuk menggambarkan upaya Moeldoko selaku Kepala Staf Presiden (KSP) menjarah Partai Demokrat dari kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono. Di mata Denny, Jokowi sudah melakukan dosa politik yang layak dimakzulkan.
Indonesia sudah punya pengalaman people power dalam proses kejatuhan Soekarno dan Soeharto. Indonesia juga sudah punya pengalaman memakzulkan Presiden Abdurrahman Wahid.
Dalam politik berlaku sebuah hukum besi atau iron law tentang sekali terjadi peralihan kekuasaan dengan kekerasan maka akan terjadi lagi dan lagi. Hukum besi itu sangat mungkin akan terjadi lagi di Indonesia.(***)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
BACA ARTIKEL LAINNYA... Puan, AHY, dan Mimpi SBY
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi