ArtJog 13

Sabtu, 27 Juli 2013 – 22:01 WIB

jpnn.com - JAKARTA itu mendominasi Indonesia, seperti halnya Manila dan Bangkok yang juga mengontrol negaranya masing-masing. Dalam perkara bisnis, politik dan media, kota-kota metropolitan yang menjadi “hub” ini memiliki “suara” yang lebih lantang dan sedikit mendekati cara imperialis.

Saya tidak lantas mengatakan bahwa kota-kota lain tidak memiliki sisi keistimewaannya sendiri-sendiri. Sebagai contoh, baik Surabaya maupun Cebu yang menjadi kota pusat Visayan justru melebihi perkiraan.

BACA JUGA: Mesir .

Di saat keduanya ikut menopang urusan logistik dan perdagangan negara masing-masing, mereka kekurangan campur tangan dan pengaruh dari Jakarta atau Manila. Tapi bisa dikatakan, mereka nyaris menjelma menjadi kota-kota yang terkenal.

Tapi sementara Jakarta disebut sebagai pusatnya Indonesia, tidak lantas menjadikannya kota yang berpengaruh secara penuh.

BACA JUGA: Ambon Manise

Ibukota juga akan menjadi pusat negara yang hebat ketika bersinggungan dengan seni visual, serta menampung lebih banyak profesi-profesi kreatif dan intelektual.

Tidak perlu diragukan, dalam hal lukisan, seni pahat dan bahkan seni pertunjukan, Yogyakarta (dan Bandung) terbilang jauh lebih hidup dan merupakan destinasi yang menarik.

BACA JUGA: Menyalakan Ikon Jakarta

Bisa jadi ini disebabkan juga adanya kampus seni yang sangat bergengsi di kedua kota tersebut; Institut Seni Indonesia (ISI) di Yogyakarta dan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang memiliki Fakultas Seni dan Desain.

Pada saat yang sama, persewaan studio dan biaya hidup di luar Jakarta lebih terjangkau bagi para calon seniman yang sedang berjuang ini. Terlebih lagi, di Yogyakarta paling tidak terdapat lebih dari ratusan, bahkan ribuan anak muda yang menekuni seni lukisan dan pahat. Tercipta harapan salah satu mereka bisa menjadi Affandi, Sudjono atau Hendra Gunawan masa depan.

Awal bulan menjelang Ramadhan tiba, Yogyakarta sekali lagi membuktikan kelebihannya sebagai pusat seni visual Indonesia dengan “ArtJog13” (diambil dari sebutan sehari-hari kota ini)

Dibuka di Taman Budaya Yogyakarta, ArtJog telah berkembang menjadi perpaduan pertunjukan menarik: sebuah pertunjukan yang dikuratori dan dijual dengan harga terjangkau, dengan begitu secara kebetulan meniadakan calo-calo tiket.

Diselenggarakan oleh komunitas kreatif Yogyakarta dengan seniman Bambang ‘Toko’ Witjaksono sebagai kurator –tema tahun ini “Budaya Maritim” sungguh menarik – walaupun beberapa praktisi terkemuka seperti Heri Dono dan Eko Nugroho mengabaikannya sama sekali.

Mengingat bahwa ini adalah akhir pekan terakhir sebelum puasa dimulai, tidak mengejutkan jika keramaian orang dimana-mana, mengubah Taman Budaya yang biasa tenang menjadi tempat yang melebihi konser musik rock. 

Lebih lagi, banyak terlihat anak-anak muda yang keren (baca: berpakaian serba hitam, bertatto dan bertindik di telinga) serta berpendidikan tinggi bersliweran di acara ini.

Di negara lain, seni kerap dikonsumsi dan dilestarikan oleh orang-orang paruh baya.

Tetapi pengunjung ArtJog adalah orang-orang berusia duapuluhan dan tigapuluhan. Bahkan salah satu peserta yang hadir terdengar mengatakan bahwa di Yogyakarta setidaknya seniman adalah “rock star”! 

Tempat pertama diberikan kepada seniman yang dikenal melalui pertunjukan boneka, Iwan Effendi dari Papermoon Puppet Theatre.

Dia menciptakan komedi putar berukuran tinggi tiga puluh kaki dengan ratusan komponen yang bergerak, berderit dan berputar pelan sepanjang malam.

Spektakuler dan memukau, komedi putar diciptakan dengan tema “Finding Lunang” (bahasa Jawa “gelombang”), figur mitos yang melambangkan kepulauan dan bermacam-macam tokoh dari pedagang, para ahli dan petualang yang telah menaklukkan lautan.

Ketika masuk ke Taman Budaya, pameran dibuka dengan panorama luar biasa karya Entang Wiharso yang menyuguhkan tokoh-tokoh Jawa berada di tiga gundukan tanah yang terpisah dengan terbalik.

Anak-anak muda pasti bisa dengan cepat menangkap tema.

Ini ibaratnya pengimajinasian kembali yang luar biasa dari lukisan “Raft of the Medusa” karya seniman Gericaults dengan menempatkan figur Indonesia menggantikan figur Perancis.

Nama baru yang muncul lainnya adalah Dwi Satya “Acong”. Karyanya di atas kanvas yang mengikuti gaya seniman Anselm Kiefer bergolak, langit berawan sangat indah dan penuh ekspresi. Sebuah lukisan yang membuat anda tidak beranjak untuk berhenti dan menatapnya.

Salah satu orang Yogyakarta kelahiran Belanda, Mella Jaarsma menghasilkan salah satu karyanya yang paling cantik – video seorang pria yang mengenakan rok yang terbuat dari lanskap-lanksap kecil yang berwarna terang.

Berpakaian dengan model potongan di pinggang seperti “whirling dervish” (tarian Sufi yang berputar-putar), lelaki di dalam video menari di menara tinggi di atas garis pantai sebelum akhirnya berhenti karena kelelahan. Saya tidak mengerti tapi gerakan mengulang-ulang itu benar-benar memikat saya, dan saya membelinya.

Seminggu setelahnya, saya mampir ke Pasific Place di Jakarta untuk melihat Bazaar Art Fair.

Dengan hanya sekitar sepersepuluh dari seni yang dimunculkan dan sedikit kegembiraan yang meluap, saya datang dan pergi sambil berpikir: “Memang benar, di Yogyakarta, seniman adalah rock star…” [***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mandela .


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler