Aryanthi Baramuli, Delapan Tahun Bertahan dari Kanker di Komunitas Penderita Kanker

Ikut Poco-Poco, Mual karena Kemoterapi pun Hilang

Minggu, 03 April 2011 – 08:08 WIB

Ketika divonis dokter terkena kanker payudara grade tiga, Aryanthi Baramuli Putri shockDia pun berobat

BACA JUGA: Kenikmatan Para TKI Bekerja di Masjidilharam

Setelah merasa sembuh, perempuan 46 tahun yang juga politikus di Senayan itu mendirikan komunitas
Kebanyakan anggotanya adalah perempuan yang senasib dengan dirinya

BACA JUGA: Nasib Dua Anak Yatim-Piatu setelah Orang Tua Mereka Tewas Diberondong 27 Peluru



========================
  PRIYO HANDOKO, Jakarta
========================

DARI luar, rumah bercat putih di Jl Imam Bonjol 51, Jakarta Pusat, itu tampak seperti lengang
Hanya ada dua mobil dan empat motor yang diparkir di balik pagar

BACA JUGA: Kisah Para Pegawai di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin yang Terancam Gulung Tikar

Ada seorang penjaga di sana yang stand-by di pos penjagaan
 
Ketika datang ke rumah tersebut Sabtu siang lalu (26/3), si penjaga yang mengenakan kaus belang-belang itu langsung menyuruh koran ini masuk"Anda sudah ditunggu ibu," katanyaIbu yang dimaksud itu adalah sang tuan rumah, Aryanthi Baramuli Putri.
 
Begitu masuk ke ruang tamu, di sana ternyata terdapat belasan perempuan dari berbagai lapisan umurMereka sedang asyik bergoyang poco-poco mengikuti alunan musik yang diputarWajah mereka yang rata-rata sudah berkeringat itu terlihat ceriaSesekali mereka tertawa lepas ketika ada rekannya yang salah mengayunkan langkah.
 
Di bagian belakang rumah, beberapa orang sedang serius mempelajari naskah operetSebagian yang lain duduk berkelompok di sofa dan asyik mengobrolAda juga yang mengerumuni meja yang penuh makanan lokal, mulai empek-empek hingga sate.

"Coba lihat, nggak kelihatan kalau yang lagi poco-poco atau latihan operet itu hampir semua para survivor kanker ya?" ujar Aryanthi mulai membuka percakapan.
 
Survivor kanker adalah sebutan bagi mereka yang sudah divonis kanker tapi tetap bersemangat menjalani hidupMereka adalah para anggota Cancer Information and Support Center (CISC)Yakni, lembaga nirlaba yang didirikan Aryanthi bersama sejumlah rekannya sesama survivor kanker pada 30 April 2003.
 
Aryanthi mengungkapkan, beberapa orang yang datang di rumahnya itu bahkan sedang menjalani kemoterapiBiasanya efeknya adalah merasa mual"Bayangin, ini malah bisa nari-nari begituBiasanya mualTapi, mereka justru senang bisa datang," kata ibu dua anak tersebut.
 
Para anggota CISC itu tengah berlatih untuk ikut mengisi acara ulang tahun ke-34 Yayasan Kanker Indonesia pada 17 April mendatangDua minggu kemudian, mereka kembali tampil untuk peringatan ulang tahun ke-8 CISC.
 
Aryanthi terdeteksi menderita kanker payudara di bagian sebelah kiri sekitar awal 2002Dokter menyebut kanker yang diderita putri mantan Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) almarhum Ahmad Arnold (A.A.) Baramuli tersebut tergolong grade tiga"Waktu itu saya divonis 50 persenArtinya, diobatin mungkin sembuh, mungkin juga nggak," jelasnya.
 
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Sulawesi Utara dua periode, 2004-2009 dan 2009-2014, tersebut sempat shock dan tak percaya ketika divonis kankerAryanthi merasa telah menjalani pola hidup sehatBahkan sepanjang hidupnya tak pernah mengalami kelebihan berat badan, apalagi overkolesterol

"Saya ini olahragawan, atlet karate dan hokiSampai sekarang rutin fitnesAwalnya sempat heran kok bisa kena kanker," ujar perempuan kelahiran Jakarta, 18 Oktober 1964, itu
 
Belakangan dia memahami bahwa kanker dipicu banyak faktorSelain pola makan dan kurang berolahraga, faktor-faktor seperti polusi, stres, dan rokok bisa berpengaruh.
 
Karena pengetahuan yang minim mengenai kanker, Aryanthi sempat panik dan kehilangan arah"Saya sebenarnya nggak mau berobatTapi, orang tua bilang, dosa kalau nggak berusaha dan tidak sabarWah takut juga dibilang dosaAkhirnya saya berobat karena cinta orang tua juga," katanya lantas tersenyum.
 
Dia menuturkan, setelah divonis kanker, mendiang ayahnya, A.ABaramuli, giat mencari informasi pengobatan sampai ke AS dan BelandaSampai suatu ketika, Baramuli bertemu seorang dokter ahli di Belanda yang memberi tahu untuk tidak perlu berobat jauh-jauhSebab, di Indonesia sudah banyak pakar kanker payudara.
 
Namun, Aryanthi telanjur berada di Singapura dan diminta segera mengambil keputusan, mengingat kankernya tergolong ganasAkhirnya, dia memutuskan untuk menjalani operasi di sana pada 17 Agustus 2002.
 
"Saya ingat karena ayah biasanya tidak pernah bolos ke istana untuk upacara benderaTapi, saat itu dia menemani saya di Singapura," ungkap ketua Persatuan Tinju Amatir Indonesia (Pertina) Sulawesi Utara sejak 2003 sampai sekarang itu.
 
Selesai menjalani operasi, dokter menemukan bahwa kanker Aryanthi telah menyebar ke bawah ketiakOperasi lanjutan harus langsung dilakukan keesokannyaSaat menjalani operasi kedua tersebut, Aryanthi tidak lagi didampingi sang ayah dan keluargaRombongan Baramuli telanjur berangkat ke Australia untuk menghadiri wisuda salah seorang anggota keluarga yang tak lain adalah keponakan Baramuli.

"Seusai operasi hari pertama, saya bilang sama ayah, saya nggak apa-apaPergi sajalah ke AustraliaWaktu itu ada seorang sahabat yang menjaga sayaEh, ternyata harus operasi lagi," kenangnya lantas terkekeh.
 
Setelah operasi, Aryanthi harus menjalani delapan kali kemoterapiSetiap kemoterapi, dia "mencicipi"tiga suntikanEfek kemoterapi itu, kepala Aryanthi sempat plontos alias botak habis"Sempat mengangkat jari saja nggak bisaSariawan di mulut mungkin ada sejutaNggak tahu berapa saking banyaknya," ujarnya.
 
Saat menjalani kemoterapi di salah satu rumah sakit di Jakarta itu, dia berkenalan dengan beberapa teman senasib sesama survivor kankerDi antaranya, RYuniko Deviana yang pada 2007 menerbitkan buku berjudul I Have Cancer, It Doesn"t Have MeBelajar dari pengalaman pribadi, akhirnya mereka bersepakat untuk mendirikan CISC"Waktu baru rapat pada awal pendirian, sudah ada insiator yang meninggal," kata Aryanthi
 
Sesuai pendirinya yang berlatar belakang menderita berbagai jenis kanker, CISC tidak membatasi anggotanya pada jenis kanker tertentuKarena tidak berbentuk yayasan atau organisasi formal, pendanaan CISC berasal dari anggota sendiri secara sukarela"Kalau ada even-even spesial seperti ulang tahun begini, baru cari sponsorSistemnya partnership," jelasnya
 
Setiap minggu CISC memiliki agenda rutinLokasinya bergiliran dari ruang tunggu Gedung Radio Terapi RSCM, lantai 6 RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, dan rumah AryanthiBukan hanya survivor kanker, kegiatan CISC juga terbuka bagi anggota keluarga serta sukarelawan"Jadwal di rumah saya biasanya minggu kedua," ujar Aryanthi
 
Dalam pertemuan tersebut, selain berbagi pengalaman, mereka mendapat informasi mengenai segala hal terkait kankerJadi, temanya berganti-gantiBiasanya ada dokter atau psikolog yang hadir"Kami berharap setiap anggota bisa menyosialisasikan kanker ke lingkungannyaBisa lewat pengajian, contohnya,"  jelasnya.

Menurut dia, CISC sangat bermanfaatYang paling praktis, orang yang divonis kanker sering mencoba mencari info dengan membaca bukuNamun, tak sedikit yang masih kurang paham dengan penjelasan buku"Ternyata bahasa sesama pasien berdasar pengalaman lebih bisa dimengerti," katanya.
 
Karena itu, tak heran bila hubungan batin antaranggota CISC sangat dekat seperti keluarga"Ini seperti rumah kedua bagi kami," tuturnya.
 
Meski selalu mendata anggota yang bergabung ke CISC sejak didirikan, Aryanthi menyatakan tidak tahu jumlah pasti anggotanyaDia memang tidak pernah mau menghitungnya"Selalu ada yang datang, selalu ada yang pergiKami punya data mereka, tapi tidak pernah mau menghitungnya," katanya penuh makna.
 
Sekarang juga telah dibentuk CISC di Bandung, Semarang, Batam, Manado, serta BalikpapanTermasuk Bogor, Bekasi, dan KerawangDi Jakarta, mereka mendirikan dua rumah singgah bagi pasien kurang mampu yang sedang menjalani pengobatan kanker.

Setelah mendirikan CISC, Aryanthi seperti mendapat suntikan semangatDia kembali berkiprah di perusahaan milik keluarganya, Poleko Group, yang digeluti sejak 1983Pada pengujung 2003, dia memperoleh penghargaan Citra Wanita Pembangunan Indonesia sekaligus Women of The Year.
 
Saat Pemilu 2004, Aryanthi juga termotivasi untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPDKeinginan itu muncul setelah dia menyadari bahwa penderitaan yang dihadapi karena kanker masih tidak sebanding dengan kesulitan yang banyak dihadapi masyarakat"Berpolitik itu sedekah dan sedekah itu obat," tegasnya.
 
Meski rasa mual karena efek kemoterapi masih dirasakan, Aryanthi tak mau menyerahDia tetap bertemu dan berkampanye kepada para konstituen di daerahnyaTak sia-sia, dalam Pemilu 2004, dia menduduki peringkat kedua dengan perolehan 158 ribu suara
 
"Waktu jalan kampanye, kadang-kadang saya merasa mual mau muntahTapi, saya telan lagiOrang-orang nggak tahu saja," ujar Aryanthi yang saat Pemilu 2009 sukses meraih perolehan suara terbanyak dengan 220 ribu suara itu(c5/kum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Selly Yustiawati; Penipu Cantik di Mata Orang-Orang yang Mengenalnya


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler