Kisah Para Pegawai di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin yang Terancam Gulung Tikar

Gaji Rp 500 Ribu, Semprot Antijamur Rp 15 Juta

Kamis, 31 Maret 2011 – 08:08 WIB
Suasana di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat. Foto: Fery Pradolo/INDOPOS/JPNN

Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.BJassin di kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta Pusat, terancam gulung tikar

BACA JUGA: Selly Yustiawati; Penipu Cantik di Mata Orang-Orang yang Mengenalnya

Penyebabnya, subsidi untuk menopang biaya operasional terus menyusut
Bagaimana para pegawai di tempat itu mampu bertahan di tengah keterbatasan?

===============================
  AGUNG PUTU ISKANDAR, Jakarta
===============================

GEDUNG PDS H.B

BACA JUGA: Obituari Ratna Indraswari; Penulis Handal yang Tak Menyerah dengan Keterbatasannya

Jassin, lembaga yang didirikan begawan sastra H.B
Jassin itu berlokasi satu bangunan dengan Planetarium

BACA JUGA: Barbeque di Semak-Semak, Cara Warga Jordania Nikmati Hari Libur

Hanya, pintu masuknya saling membelakangiJika Planetarium di sisi depan bangunan, PDS H.BJassin di belakang.
   
Berbeda dengan Planetarium, pintu masuk PDS H.BJassin sangat tidak eye-catchingBahkan, pintu masuk itu harus berbagi pemandangan dengan kios rokok dan camilanPintu masuk terletak di lantai duaUntuk menuju ke sana, terdapat tangga selebar semeter yang harus dilalui pengunjungLempengan besi pada anak tangga sering terdengar bising setiap kali diinjak pengunjung.

Senin siang itu (21/3) ruang utama PDS H.BJassin terlihat lengangHanya ada tiga hingga empat mahasiswa di ruang seluas lapangan voli ituMereka tampak sedang membaca koran di pojok ruangBilik baca yang diletakkan di sisi utara ruang utama, kondisinya melompong.

Berhadapan dengan bilik baca itu, sebuah meja seperti front office diletakkanDari meja tersebut para pengunjung mendapat akses ke koleksi-koleksi lembaga yang dikelola Yayasan Pusat Dokumentasi Sastra H.BJassin ituTepat di belakang meja lobi itulah terdapat pintu masuk khusus selebar empat meter

"Tapi, pengunjung tidak boleh masuk ke siniMereka hanya menyerahkan keperluannya kepada petugas, nanti petugas yang mencarikan ke dalam," kata Kepala Pelaksana PDS H.BJassin Ariyani Isnamurti saat ditemui di gedung PDS.

Ruang di balik meja lobi itu adalah "harta" PDS H.BJassin sesungguhnyaDi dalam ruang seukuran lapangan futsal itulah diletakkan puluhan ribu koleksi dokumen sastra yang dikumpulkan sejak 1930 sampai sekarang"Barangkali, ini pusat dokumen sastra terbesar sedunia," kata Ariyani lantas terkekeh.

Rang tersebut dipenuhi rak-rak buku yang berbaris rapiHanya tersisa ruang lapang selebar kurang dari satu meter di tengah untuk lalu lalang petugasBuku-buku di rak itu berwarna sama: cokelat lusuh dan sedikit lapuk.

Berbagai dokumen sastra ada di dalamnyaAda tulisan tangan penyair Chairil Anwar saat menulis Puisi MalamBahkan, terlihat coretan tangannya mengoreksi bait demi bait tulisannya

Ada juga buku prosa sastra TionghoaDi antaranya tulisan Lie Kim Hok berjudul Siti Akbari yang terbit pada 1981 dan tulisan Gouw Peng Liang berjudul Boekoe Tjerita Kaoem Pengkhianat yang dirilis pada 1907"Sastra Tionghoa bukan cuma cerita silat," kata Ariyani lantas tersenyum.

Masih belum cukup, terdapat buku kumpulan sajak karya W.SRendra yang monumental berjudul Sajak-Sajak Sepatu TuaDalam buku asli tulisan tangannya itu, terlihat bahwa Rendra awalnya hendak memberikan judul untuk buku itu Djalan Ungaran dan Tempat2 LainnyaTulisan itu kemudian dicoret dengan tanda X dan diberi judul kecil di bawahnya seperti yang kemudian banyak dicetak sekarang.
   
Ariyani menuturkan, sebagian besar koleksi PDS masih dalam wujud aslinyaMulai kliping, tulisan tangan sastrawan, hingga buku-buku terbitan awal karya-karya bersejarah tersebutKarena itu, ruang tersebut sering berbau lapuk menyengatKertas-kertas juga hampir semuanya berwarna cokelat kusam.

Karena itulah, pengurus PDS sempat mengusulkan agar semua koleksi PDS dikonversi ke media yang lebih permanen, baik berupa CD, film, hingga file-file elektronikSebab, jika dibiarkan begitu saja, koleksi itu bisa lapuk dan hilang"Lagi pula, dalam jangka panjang uang perawatannya jauh lebih mahal daripada biaya konversi," katanya.

Agar koleksi tidak lapuk, pengurus harus rutin menyemprotkan antijamurDalam setahun, minimal dua kaliPadahal, biayanya tidak murahSekali semprot biayanya Rp 15 juta"Daripada harus bayar segitu terus, lebih baik dipakai untuk memindahkan ke format dokumen," katanya.

Semprot antijamur plus biaya perawatan lain, kata Ariyani, adalah salah satu pengeluaran terbesarBiaya karyawan, kata dia, tidak seberapa besarMereka saat ini mempekerjakan 14 orang dengan gaji yang tidak terlalu besarGajinya antara Rp 500 ribu - Rp 1 juta"Ini bukan instansi pemerintah atau swasta yang punya profitKami juga harus menekan pengeluaran," katanya.

Ariyani menuturkan, untuk hanya bisa beroperasi, PDS paling tidak butuh dana Rp 300 juta"Dana sebesar itu tidak termasuk uang pengadaan buku-buku baru dan penambahan koleksi lho yaArtinya, kalau hanya untuk jalan bisa," katanya.

Berapa angka idealnya? Kata Ariyani, ditambah komputerisasi dan mengubah format dokumen ke format yang lebih awet, paling tidak PDS butuh dana Rp 1 miliarDana itu, menurut dia, tidak terlalu besarApalagi, kebutuhan terhadap PDS tidak didominasi warga DKI Jakarta saja, tapi secara nasional.

Ketua Dewan Pembina Ajip Rosidi menuturkan, saat diresmikan pada 1977, Gubernur DKI Ali Sadikin menegaskan bahwa koleksi PDS tidak dibeli pemprovSebab, Pemprov DKI tidak akan kuat membayar harga semua koleksi"Tapi, ini tanggung jawab kami untuk merawatnya," kata Ajip yang juga salah seorang pendiri PDS ini menirukan Ali Sadikin.

Penulis Sajak-Sajak Anak Matahari ini menambahkan, sejak saat itulah dana operasional PDS disubsidi pemprovTapi, bukan berarti mereka tidak berupayaYayasan yang menaungi terus berupaya mencari dana melalui donaturDana dari donatur tidak langsung habis untuk operasionalSebagian besar disimpan di bank.

Namun, karena tren subsidi pemprov terus turun sejak 2003, mau tidak mau dana simpanan itu harus dipakaiPada 2003, pemprov menyubsidi hingga Rp 500 jutaNamun, sejak Fauzi Bowo (Foke) menjadi gubernur DKI pada 2007, tiba-tiba dana disunat separo tanpa alasan yang jelasAjip meminta bertemu Foke, tapi tak pernah diterimaTak lama kemudian, dana tersebut sempat ditambah Rp 100 juta menjadi Rp 350 juta

Tapi, kebiasaan menyunat dana subsidi itu kumat pada 2009Subsidi kembali dikorting 50 persen menjadi Rp 275 jutaPDS, kata Ariyani, berupaya tetap surviveDana cadangan dari donatur mau tidak mau dipakai sampai akhirnya habisKarena itulah, pengurus sempat mengumumkan hendak tutup lantaran tidak ada dana"Kami bahkan pernah sampai utang lho," bisik Ariyani(c2/kum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Adegan Perkelahian, Tubuh Wayang pun Bisa Berdarah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler