AS Bisa Cetak Uang tanpa Takut Inflasi

Obama Siap Gelontor Dana Krisis ala RRT

Rabu, 19 November 2008 – 03:32 WIB
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono dan rombongan tiba di Brasilia, ibu kota Brazil, pada pukul 03.00 kemarinMenjelang subuh itu, Dahlan Iskan yang terus menyertai rombongan presiden, menulis bagian akhir dari masalah krisis ekonomi global yang dilihatnya setelah pertemuan puncak 20 kepala negara di Washington DC.

Barack Obama terpilih, krisis tidak mereda

BACA JUGA: Rakyat AS Geram dengan Gaji Eksekutif

Pertemuan puncak 20 kepala negara (90 persen kekuatan ekonomi dunia) selesai, krisis tetap memburuk
Semua negara sudah membuat langkah untuk mengatasinya, krisis terus berlanjut.
Lalu apa maunya?

Jelaslah bahwa persoalannya bukan sekadar kepanikan yang disusul hilangnya rasa percaya diri

BACA JUGA: SBY Berkelahi dengan Jurus Sendiri

Dengan kata lain, persoalannya memang pada fundamen ekonomi yang sangat rapuh


Memang masih ada satu momentum lagi yang ditunggu: dilantiknya Obama menjadi presiden ke-44 AS pada 20 Januari tahun depan

BACA JUGA: Mau Jatuh Cepat-Cepat atau Pelan-Pelan? (1)

Antusiasme masyarakat untuk melihat pelantikan itu memang luar biasaPertanda masih ada ”pengharapan”Kursi untuk umum yang hanya disediakan 300 buah, jelas tidak memadaiYang antre mendaftar sudah lebih dari 100.000 orangTerpaksa akan diundiYang tidak beruntung bisa hadir bersama penggembira umum dengan cara berdiri di taman luas yang disebut Washington MallDiperkirakan lebih satu juta orang –yang berarti memecahkan rekor– akan memenuhi taman itu

Maka bisa dibayangkan betapa kecewanya rakyat AS kalau ternyata paket yang akan diberikan Obama kepada rakyatnya yang sedang krisis tidak memadaiSampai sekarang belum terungkap paket seperti apa yang disiapkan pemerintahan baruNamun, kalau apa yang dijanjikan dalam kampanye bisa dipakai untuk dasar perkiraan, kelihatannya Obama akan terus menggelontorkan uang untuk meningkatkan daya beli rakyatnya: pajak kelas menengah dipotong, biaya pendidikan diperbesar, anggaran kesehatan dinaikkan, industri-industri yang penting bagi AS seperti industri mobil akan digerojok uang negaraPemda-pemda yang kini juga kesulitan anggaran akan dibantu.

Itu berarti Obama akan terus meningkatkan utang, dengan cara mengeluarkan obligasi negaraPadahal, kini utang negara sudah mencapai USD 52 triliunKalau semua gambaran di atas terjadi, berarti akan ada tambahan utang sampai USD 1,5 triliunAngka ini diambil berdasarkan besaran ”uang krisis” yang dianggarkan Tiongkok sebesar hampir USD 600 miliarArtinya, kalau Tiongkok saja bisa menyediakan ”dana krisis” 20 persen dari GDP-nya, Obama minimal harus juga menganggarkan ”dana krisis” 20 persen dari GDP (produk domestik bruto) AS.

Tiongkok memang jadi buah bibir di seluruh duniaKemampuannya menyediakan ”dana krisis” membuat sebagian ahli di AS minta agar cara itu ditiru ASTentu juga ada yang menentangMisalnya, yang beranggapan bahwa problem yang dihadapi AS tidak akan sebesar yang ditanggung TiongkokDi Tiongkok, krisis ini memang bisa berakibat fatal: bertambahnya angka kemiskinan masalSedangkan di AS, maksimal hanya akan membuat resesi ekonomi

Artinya, tidak ada lagi orang yang mampu membeli mobil, TV, kulkas, anjing, atau ranjangTapi, karena umumnya orang AS sudah punya semua yang disebut itu, apa yang dirisaukan? Toh mobil yang ada masih bisa dipakai selama tiga tahun lagi, sampai resesi selesaiDan mobil itu, untuk ukuran kita, sampai 10 tahun lagi pun masih membanggakan untuk dipakai.

Resesi itulah yang akan diatasi di ASCaranya, itu tadi, terus menggelontorkan uang negara kepada lapisan masyarakat yang terkenaOrang awam tentu akan bertanya: dalam keadaan uang langka seperti sekarang, apakah masih ada orang yang mau memberi utang pada Obama –dengan cara membeli obligasi negara? Bukankah negara seperti Indonesia mencari utang satu persen (dari GDP) saja mengalami kesulitan?

Untuk urusan utang seperti itu AS tidak akan pernah mengalami kesulitanObligasi negara terus laku dijual
Pertama, dolar AS menjadi mata uang duniaYakni, sejak perdagangan emas dunia dinyatakan dalam dolar AS pada 1930-an, disusul keputusan bahwa perdangan minyak juga dinyatakan dalam dolar AS pada 1971

Kedua, aset AS luar biasa besarAset seperti itu yang belum dimiliki negara seperti IndonesiaIbarat perusahaan, negara mestinya juga punya neraca laba rugiDalam neraca itu juga harus terlihat berapa sebenarnya aset negaraMisalnya, batu bara yang tiap hari dikeruk dalam jumlah jutaan ton ituSebenarnya hak milik siapa? Mengapa cadangan batu bara se-Indonesia tidak bisa diakui sebagai kekayaan negara? Demikian juga emas, minyak, nikel, dan seterusnya? Mengapa semua itu tidak masuk dalam neraca keuangan negara, sehingga terlihatlah Indonesia sebagai negara kaya yang kalau pinjam uang, ada yang dijaminkan?

Pemerintah yang sekarang memang mulai melangkah ke sanaUntuk kali pertama pemerintah membentuk dirjen kekayaan negaraYakni, sejak Dr Sri Mulyani Indrawati menjabat menteri keuanganPemerintah-pemerintah yang lalu belum ada pemikiran ke arah sanaNamun, pekerjaan ini juga memerlukan waktu lamaBisa-bisa perlu waktu 5-6 tahun lagi.

Masih ada beberapa hambatanSecara teknis, penyertifikatan aset-aset negara memerlukan biaya besar–meski sebenarnya bisa diselesaikan dengan gampangBukankah Badan Pertanahan Negara juga milik negara? Lalu, kalau aset itu harus diapraisal untuk mendapatkan nilai pasar yang sebenarnya, juga harus membayar pajak yang besarIni pun sama: negara membayar pajak kepada negaraKenapa tidak tukar-menukar angka saja.

Namun, secara mendasar juga masih ada hambatanMisalnya, pasal 33 UUD yang berlaku sampai sekarang masih membuat keraguanHarus ada tafsir resmi mengenai sumber daya alam yang di pasal itu disebut ”dikuasai” oleh ”negara”Harus jelas apa yang dimaksud ”dikuasai” dan siapa yang disebut ”negara”Harus dijelaskan secara hukum bahwa yang dimaksud ”dikuasai” adalah ”dimiliki”Sedang yang dimaksud ”negara” adalah siapa: perusahaan negara? Instansi? Dan seterusnya.

Politisi di parlemen tentu tidak memahami mengapa harus dijelaskan seperti ituTapi, bagi orang akuntansi, itu sangatlah pentingUntuk bisa membukukan kekayaan itu dalam neraca negara, harus ada landasan hukumnyaKalau, sudah jelas bahwa seluruh batu bara, emas, minyak, nikel, dan seterusnya itu milik negara, tinggal diapraisal berapa harga semua ituLalu, akuntan punya dasar untuk membukukan angka tersebut ke dalam neracaKalau tidak, tidak akan bisa kekayaan itu secara resmi diakui sebagai kekayaan negara.

Di masa lalu, mungkin memang tidak ada keinginan memperjelas semua ituDengan tidak jelas, bukankah bisa ditafsirkan sesuai keinginan penguasanya? Di Amerika Serikat, semuanya jelasKarena itu, perhitungan keuangannya juga jelasBahkan, dengan kekuasaan Amerika seperti sekarang, kalaupun tidak ada yang membeli obligasi negara, bukankah masih bisa mencetak uang? Bagi negara seperti Indonesia, mencetak uang (menambah peredaran uang baru tanpa menarik uang lama) sangat berbahayaBisa mengakibatkan inflasi

Tapi bagi AS? Dengan posisi sebagai mata uang dunia? Yang peredaran dolarnya di luar negeri lebih besar dari di dalam negeri? Kalau toh terjadi inflasi, dampak di dalam negerinya lebih kecil daripada di luar negeriApalagi, kata ”mencetak” dolar di sini tidak harus dalam pengertian benar-benar mencetak uangBukankah semua itu, kini, hanya angka-angka digital? Yang bertambah adalah angka dan yang berkurang juga angka? Tentu yang demikian tidak fair sama sekali bagi negara di seluruh duniaTapi, mau berbuat apa?

Memang Eropa sudah melangkah dengan menciptakan uang bersama yang disebut euroTapi, itu masih belum bisa menggantikan dolarKelak, barangkali, kalau Tiongkok sudah benar-benar menjadi superpower, Asia bisa menciptakan mata uang sendiri, Yuan Tiongkok, sebagai alat pembayaran internasionalDengan demikian, di dunia akan ada tiga mata uang yang sejajar: dolar AS, euro, dan yuanMungkin kita masih akan bisa melihat zaman itu: 50 tahun lagi(habis)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Semua dalam Posisi Memegang Benang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler