'Aveus Har' Suharso, Penjual Mi Ayam yang Novelis Produktif

Buku Jadi Bensin, Kepuasan, dan Juru Selamat

Kamis, 16 April 2015 – 11:33 WIB
PROFESI GANDA: Suharso alias Aveus Har di warung mi ayamnya di Jalan Pattimura, Pekalongan. Foto: M. Salsabyl And/Jawa Pos

jpnn.com - Penulis novel populer yang beken dengan nama pena Aveus Har ternyata adalah seorang penjual mi ayam. Sastrawan yang tinggal di Pekalongan itu ingin meneruskan jejak pendahulunya seperti Marga T., Mira W., dan Fredy S. Bagaimana dia bisa membagi waktu antara kegiatan sehari-hari sebagai penjual mi ayam dan aktivitas menulisnya?

Laporan M. Salsabyl Ad'n, Pekalongan

BACA JUGA: Darbotz, Bomber Indonesia yang Mendunia lewat Seni Grafiti

JALAN Pattimura, Pekalongan, Jawa Tengah, Senin (13/4) siang itu tampak padat. Truk-truk besar melintas di ruas jalur pantai utara (pantura) tersebut. Beberapa di antaranya menepi dan sopirnya mampir di warung mi ayam milik Suharso.

Para sopir yang mampir makan dan beristirahat di warung itu mungkin tidak tahu bahwa pemilik warung mi ayam tersebut adalah penulis produktif. Ya, Suharso tak lain adalah Aveus Har, pengarang novel populer Warna Merah Pada Hati, ASIBUKA! Mantra Rahasia, Pangeran Langit Sorry that I Love You, Roller Coaster Cinta, dan beberapa yang lain.

BACA JUGA: Kisah Menteri Keturunan Jawa yang Ingin Punya Senayan di Negaranya

Kepada para pembeli, Suharso memang tidak pernah menceritakan jati dirinya yang sebenarnya. Dia tetap menunjukkan profesi utamanya sebagai penjual mi ayam. Pria 38 tahun itu benar-benar low profile dan bersahaja.

Dengan celana training hitam, kaus hijau, dan tas pinggang kecil, Suharso melayani para pembeli, termasuk Jawa Pos. Sambil sesekali melayani pembeli yang hilir mudik ke warungnya, koordinator Forum Lingkar Pena (FLP) Pekalongan tersebut menceritakan perjuangannya menjadi penulis fiksi.

BACA JUGA: Tak Selamanya Sanksi FIFA Jadi Ancaman Menakutkan

Karena tuntutan pekerjaan, proses kepenulisan Harso –begitu dia biasa disapa– tidak bisa selancar penulis lain. Dia tidak bisa menuangkan ide dan jalan ceritanya di depan layar komputer secara khusus.

Yang bisa dia lakukan adalah menulis di sela-sela kesibukannya melayani pembeli. Itu pun tidak di komputer, melainkan di ponsel yang memiliki fitur memo untuk menulis karangan yang panjang. Sambil berjualan, dia terus berpikir tentang alur cerita, setting, maupun ending cerita.

’’Memang tidak bisa fokus karena yang dipikir dua hal berbeda. Tapi, karena sudah menjadi pekerjaan, ya dijalani saja. Meskipun, proses menulis ceritanya jadi lebih lama,’’ ungkapnya.

Sejak buku pertamanya terbit, kumpulan cerpen Paper Doll, pria lulusan SMEA Negeri Pekalongan itu sukses melahirkan enam judul novel, satu kumpulan cerpen lagi, dan buku tutorial penulisan. Tema novel karyanya bermacam-macam, mulai cerita anak-anak, remaja, hingga dewasa.

’’Kebanyakan novel populer yang punya aliran romantis seperti novel Marga T., Mira W., dan Fredy S.,’’ jelas ayah Novel Mahardika dan Gita Aurellia itu.

Tidak hanya berhasil menerbitkan sembilan buku, Harso juga pernah memenangi lomba menulis novel populer yang diadakan Bentang Pustaka, penerbit yang sukses dengan novel-novel best seller seperti Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan Perahu Kertas karya Dewi ’’Dee’’ Lestari. Novel Harso Flawless Hope mampu menyisihkan sekitar 400 judul novel peserta lain.

’’Novelnya baru diterbitkan Maret lalu dengan judul Sejujurnya Aku. Proses penyuntingannya memang cukup lama. Lucunya, saya adalah satu-satunya pengarang pria yang masuk delapan besar lomba itu dan juara,’’ ujarnya.

Mungkin, panitia maupun juri menyangka Harso yang di dunia sastra akrab dipanggil Ave itu adalah penulis perempuan sehingga lalu dipilih bersama tujuh penulis perempuan lainnya.

’’Mungkin karena nama pena saya mengandung Ave yang dikira cewek. Padahal, Ave itu terinspirasi idola saya cerpenis Donatus A. Nugroho. Buktinya, banyak juga yang memanggil saya Mbak Ave di Facebook,’’ ujar putra pensiunan PNS Moch. Natsir itu.

Harso bisa memaklumi orang-orang yang salah mengidentifikasi gender penulis pujaannya. ’’Saya pun kadang-kadang lupa bahwa saya ini laki-laki,’’ tuturnya.

Selama ini, Harso cukup rajin membaca banyak buku, termasuk buku psikologi. Salah satunya ditujukan untuk menghayati sosok-sosok yang akan ditampilkan dalam novel atau cerpennya.

’’Secara general, perempuan kan lebih perasa. Karena itu, saat membuat cerita dengan tokoh perempuan, saya harus bisa memosisikan diri sebagai tokoh perempuan,’’ jelas suami Khopipah itu.

Jalan yang ditempuh Harso untuk menjadi penulis dimulai dari impiannya sebagai anak ingusan. Tidak ingin menjadi jomblo selamanya, dia memutuskan untuk menulis cerpen kepada gadis yang ditaksirnya.

’’Saat SMEA, saya pernah jatuh cinta kepada seseorang. Akhirnya, saya menulis cerpen enam halaman dan ditempel di majalah dinding sekolah,’’ kenang dia.

Dari situlah, dia keterusan menyenangi dunia tulis-menulis. Dia kemudian bertekad untuk menjadi penulis profesional. Harso lalu mulai rajin mengirimkan karya-karya cerpennya ke majalah remaja dan tabloid perempuan.

’’Selain dipengaruhi Marga T., Mira W., dan Fredy S., saya menggunakan tokoh utama perempuan supaya lebih besar kemungkinan dimuatnya. Sebab, kebanyakan pembaca majalah dan tabloid kan perempuan,’’ terang suami Khopipah tersebut.

Menariknya, karena dicibir tetangga tidak punya pekerjaan, Harso sempat menjadi anggota pasukan kuning di Dinas Kebersihan dan Pertamanan Pekalongan serta menjadi mandor di Surabaya. ’’Tapi, saya nggak cocok menjadi karyawan. Akhirnya, saya memilih membantu ibu berjualan mi ayam di rumah sambil sesekali mengunjungi perpustakaan,’’ terangnya.

Soal kepuasan, dia mengungkapkan, buku yang ditulis merupakan hasrat yang harus dikeluarkan. Berbeda dengan profesinya sebagai penjual mi ayam, dia rela mendapatkan bayaran sedikit asalkan mendapat apresiasi.

’’Kalau usaha ini (mi ayam) karena kebutuhan hidup, sedangkan profesi penulis adalah keinginan hidup. Tapi, tidak berarti saya tidak mencari tambahan penghasilan dari dunia tulis-menulis ini.’’

Menurut dia, buku karyanya memang sering menjadi penyelamat hidup keluarga. Misalnya, saat warungnya hendak digusur dari tempatnya mangkal, saat itu Harso mendapat hadiah Rp 6 juta sebagai pemenang lomba novel Bentang Pustaka. Alhasil, dia kemudian bisa menyewa kontrakan untuk kembali berjualan.

’’Apalagi sejak saya masuk TV karena profesi saya yang unik ini, banyak rezeki yang masuk. Mulai pelanggan yang penasaran sampai saya bisa membeli rumah sendiri, meski masih nyicil KPR (kredit pemilikan rumah). Saya sudah lama mengajukan KPR rumah ini. Tapi, setelah saya masuk TV, besoknya langsung disetujui,’’ ungkap Harso, lantas tersenyum. (*/c5/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menyingkap Ancaman Disorientasi Seksual Bocah-Bocah Limus


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler