Seberapa jauh gerangan cengkeraman politikus, apalagi seorang ketua umum maupun tokoh dan kader partai ketika dirundung, atau menghadapi masalah hukum? Di suatu hamparan fakta toh banyak politikus yang akhirnya berurusan dengan meja hijau, bahkan sudah menjalani hukumanNamun masih banyak pula yang tersendat, atau belum disentuh sama sekali, sedari dulu hingga sekarang.
Memang kadar cengkeraman itu akan berbeda- beda tergantung dari posisi seseorang
BACA JUGA: Polemik Jawa Satu Abad
Jika seorang politikus menjadi presiden, mungkin cengkeramannya lebih dalam, walau belum tentu si politikus yang menjadi presiden itu yang mencengkeram penegakan hukumBahkan seorang politikus yang menjadi menteri pun tak mudah diproses hukum
BACA JUGA: Ketika Garuda Tak Terbang
Dia masuk kabinet tentu saja karena partainya mendukung pemerintahan, yang berarti berada di pusat kekuasaanBACA JUGA: Dradjad Wibowo pun Menangis
Apalagi posisinya di partai pasca pejabat Negara itu tidak pula sentral.Seorang politikus yang menjadi anggota DPR pun punya “cengkeraman” tersendiri, atau mungkin lebih pas dikatakan sebagai “pengaruh.” Memang ada yang sudah diproses secara alotTapi ada pula yang belum dapat giliranMinimal, kita tahu, fraksinya di DPR melalui komisi tertentu bisa memanggil lembaga penegak hukum ke parlemen, suatu posisi bargaining yang mau tak mau tetap diperhitungkan dalam hubungan antarlembaga.
Bahkan, seorang politikus yang walaupun bukan seorang menteri, bukan pula anggota DPR, tak bisa dipandang sebelah mataApalagi jika posisinya di sebuah parpol cukup sentral pulaApalagi parpol yang dipimpinnya termasuk partai besarBagaimana pun “orang-orang” separtainya di kabinet maupun di parlemen adalah networking yang diperhitungkan para penegak hukum.
Secara teori dan perundang-undangan, semua orang sama di mata hukumNamun dalam praktek day to day, asas equality before the law tak segamblang ituSelalu ada pertimbangan tertentu, walaupun yang diungkap ke publik adalah alasan hukum, misalnya, bukti-buktinya masih didalami hingga lebih kuat.
Adagium bahwa ketika pengabdian kepada Negara dimulai, maka pengabdian kepada partai niscaya berakhir, bisa bermetamorfosis dalam bentuk terbalikBahwa pembelaan partai politik justru baru dimulai ketika seorang kader dan tokohnya masuk ke kabinet, parlemen atau sekalipun hanya menjadi ketua partai.
Memang, sangat dilematisTujuan politikus di muka bumi memasuki partai niscaya untuk merebut kekuasaanDengan menggenggam kekuasaan, maka segenap cita-cita politik yang didedikasikan kepada kepentingan rakyat akan bisa tercapai lebih efektif.
Saban politikus yang meraih jabatan publik di pemerintahan adalah kesinambungan dari jabatan publik di partaiKetika seseorang menjadi presiden, wakil presiden atau menteri di kabinet, lalu ia meninggalkan partai yang telah mengantarkannya ke pucuk piramida kekuasaan, adalah sebuah pengkhianatan kepada partaiSeolah-olah partai hanya jembatan penyeberanganLupa kacang di kulitnya.
Sebaliknya, para tokoh dan kader partai yang masuk ke dalam tubuh kekuasaan, tidaklah patut menelantarkan rekannya, apalagi bosnya, dari mana ia berasal, karena dia dan “teman-teman” separtai atau sekoalisi adalah perpnjangan tangan partainyaSikapnya di kabinet dan parlemen, bagaimana pun tak boleh bertentangan dengan aspirasi dan inspirasi partainya.
Tentu ada yang mengatakan, bahwa seorang politikus di kabinet dan parlemen dituntut mempunyai kesadaran yang canggih ketika ia menjalankan fungsinya, dan membedakannya sebagai orang parpolDibutuhkan seni yang piawaiTatkala menjadi pengurus dan kader partai, ia akan berlaku sebagai kuping, tangan, otak, hati dan mulut rakyat yang disalurkannya melalui anggota parlemen atau di tubuh kabinetBukan membela kolega politiknya yang bersalahGampang dalam teori tak mudah dalam praktek.
Fatsoen Politik
Namun fenomena masa-masa ini tak sedahsyat praktek Orde BaruPresiden Soeharto adalah Ketua Dewan Pembina Golkar, dan semua menteri menjadi anggota Dewan PembinaSecara hirarkis, struktur itu juga berlaku di tingkat provinsi, kabupaten dan kotaDikenal pula istilah jalur ABG, yakni ABRI, Birokrasi dan Golkar, sebuah forum dalam mekanisme pengambilan keputusan di GolkarWalau dalam praktek, forum ABG itu hanya sekedar menerjemahkan kehendak Presiden Soeharto belaka.
Sepanjang sejarah Orde Baru, Golkar lebih berfungsi sebagai stempel bagi seluruh kebijakan pemerintahTermasuk dalam sidang umum MPR yang hendak memilih presiden, selalu saja disusun berbagai kriteria yang hanya klop dengan Pak HartoSampai- sampai ketika Pak Harto sudah miris kembali dipilih menjadi presiden pada sidang umum MPR 1997 lalu, namun bos Golkar, Harmoko, mengatakan bahwa Pak Harto masih dicintai rakyatUniknya, yang empunya diri sudah mulai merasa TOP, sebuah singkatan yang menggambarkan Pak Harto sudah uzur.
Padahal, Pak Harto hanya manusia biasa, yang bisa khilaf, alpa, naif, fana, keliru bahkan salahTerbukti sebuah TAP MPR menyebutkan rezim Orde Baru telah menelorkan KKN, yang sekarang menjadi musuh bersama masyarakat dan pemerintah.
Memang, tiada insan supermenTiada lagi dewa-dewa yang turun dan kahyangan menjadi pemimpin di bumiBahkan Bagong, dewa yang turun ke bumi, dan menyaru menjadi manusia telah hilang saktinya ketika ia ingin merebut kekuasaan, seperti pernah diadaptasikan oleh Nano Riantiarno melalui lakon Teater KOMA.
Kekuasaan yang sentralis, menjadi presiden, menteri, pimpinan dan anggota parlemen sekaligus menjadi politikus di partai asalnya, atau hanya sekedar menjadi pengurus partai dengan kedudukan sentral, sebetulnya bagus- bagus saja bila berada di tangan seorang yang BAIK, dengan huruf kapitalYang teruji, tak mudah tergoda oleh keluarga, rekan termasuk oleh dirinya sendiri, sekaligus adil, jujur dan bijaksanaAdakah gerangan tokoh “sehebat” itu dalam sejarah bangsa ini?
Banyak pemimpin bangsa yang mulanya “baik”, bahkan seorang hero, pembaru, yang dielu-elukan publik bak Marcos dan Soekarno, tapi kemudian menemukan “cela”-nya sendiri, yang gelap, entah menjadi diktator atau koruptorPosisi yang bias itu selalu didera conflict of interest yang luar biasa dilematis.
Teks konstitusi berkata bahwa parlemen sebagai perpanjangan tangan dan suara partai politik berfungsi check and balances terhadap eksekutifTapi sebagai contoh kita sukar membayangkan Fraksi Demokrat berani mengiritik Presiden Yudhoyono dengan tajam demi kepentingan rakyat.
Tampaknya, diperlukan suatu fatsoen politik bahwa seseorang yang tersandung masalah hukum sebaiknya untuk sementara “non aktif” dari posisinya entah di eksekutif dan legislative atau menjadi pengurus sentral sebuah parpol sekalipunSebaiknya cukup dengan kemauan moral, meski pun sudah langka di negeri iniJika tidak, yang “dipaksa” saja melalui ketentuan sebuah undang-undang.
Fenomena banyaknya politikus yang tersandung dan akan tersandung dengan masalah hukum, sesungguhnya menunjukkan kegagalan system parpol di IndonesiaAda gejala orang masuk parpol adalah untuk mencari “proteksi politik” jika suatu hari tersandung masalah hukumGejala ini telah mengkhianati genesis Budi Utomo, Serikat Islam dan gerakan kebangunan nasional lainnya sebagai benih-benih parpol yang lahir karena dan demi rakyatBukan bunker bagi para koruptor**
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jalan Tengah Perang Sawit
Redaktur : Tim Redaksi