Polemik Jawa Satu Abad

Rabu, 01 Desember 2010 – 18:18 WIB

SYAHDAN, sembilan puluh dua tahun kemudian, hari-hari ini, perdebatan Tjipto Mangoenkoesoemo yang “nasionalis” dan Soetatmo Soerjokoesoemo yang membela kepriyayian pada saat persidangan Volksraad (DPR di zaman kolonial) pada 1918 silam, bagai berlari ke abad iniSetidaknya, ketika salah satu keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yakni soal pemilihan Gubernur DIY, dibangkitkan kembali justru oleh Presiden Susilo “SBY” Bambang Yudhoyono, yang merebak menjadi polemik hangat di media massa.

Adalah Takashi Sirashi dengan bagus melukiskan perdebatan itu dalam bukunya “Satria versus Pandita”: Sebuah Debat dalam Mencari Identitas, dalam Akira Nagazumi (ed), Indonesia dalam Kaitan Sarjana Jepang, Perubahan Sosial Ekonomi abad 19 & 20 dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia (Yayasan Obor Indonesia, 1986).

Tjipto alergi melihat hak-hak istimewa kaum priyayi yang dipayungi pemerintah kolonial Belanda, meski maksudnya untuk perpanjangan tangan sang penjajah

BACA JUGA: Ketika Garuda Tak Terbang

Tak pelak, Tjipto dikucilkan oleh kalangan intelektual Jawa maupun priyayi Jawa
Namun berbeda dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam menghadapi wacana SBY itu banyak dibela oleh para pakar, pengamat dan masyarakat, setidaknya yang mengemuka di media massa.

Tetapi semarjinal apapun pemikiran Tjipto, 92 tahun lampau dalam memandang kelemahan “Jawanisasi”, sesungguhnya tidak sedikit intelektual dan budayawan Jawa yang memilih nasionalisme ke- Hindia-Belandaan yang belakangan bernama Indonesia ketimbang nasionalisme Kejawaan

BACA JUGA: Dradjad Wibowo pun Menangis

Tjipto menghendaki “keindonesiaan”, tetapi Soetatmo cenderung mempertahankan “kejawaan.”

Memang, hakekat kebudayaan selalu mengalir
Evolusi, akulturasi dan degradasi dimungkinkan oleh pergaulan internasional

BACA JUGA: Jalan Tengah Perang Sawit

Indonesia juga dipengaruhi dan diubah oleh datangnya Hindu, Islam, Kristen, kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang hingga ke era kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru dan masa reformasi.

Sistem pemerintahan kita pun tak dipungkiri didominasi demokrasi yang datang dari luarContoh teranyar adalah demokrasi one man one vote, yang tak dikenal dalam sistem masa silam yang feodalis dan monarkisDulu saban Pemilihan Presiden, hanya sejumlah kecil warga Indonesia yang berhak memilih, yang direpresentasikan oleh anggota MPR, yang bahkan anggotanya banyak yang diangkat pemerintah, dan tidak dipilih dalam Pemilu.

***
Sembilan puluh tahun setelah Tjipto Mangoenkoesoemo mendobrak “Nasionalisme Jawa” terdengar pula gebrakan dari Sri Sultan Hamengku Buwono X, persisnya pada suatu hari di bulan September 2008Penampilan Sri Sultan dalam suatu acara talk show di SCTV, saya kira sangat mencerahkan“Jika saya membuka festival kebudayaan di Papua atau Sumatera, tak mungkin saya memalu gong Jawa,” kata Sri Sultan ketika ditanya pengamat politik Rocky Gerung dan pakar sejarah Anhar GonggongJawaban itu diucapkan seorang Raja Jawa, yang terwaris turun temurun dari ayah dan kakek buyutnya, penguasa Mataram nan menyejarah.

Sultan pun lebih memilih “Sumpah Pemuda”, satu bangsa, satu Tanah Air dan satu bahasa, ketimbang Sumpah PalapaJika yang pertama bersemangat kebhinneka- tunggalikaan, yang terakhir adalah sentralisme Gajah Mada yang menghegemoni NusantaraBahkan menurut Sultan, suatu fenomena “Jawanisasi” ala rezim Orde Baru.

Saya tak terbayangkan sekiranya ucapan itu dilontarkan oleh Gerung dan Gonggong, yang bukan seorang JawaWah, apa kata dunia? Mungkin, akan meletus geger antro-politikApalagi jika dilontarkan oleh seorang MJusuf Kalla, yang berasal dari Makassar, atau Akbar Tandjung, seorang Batak Pesisir dari Sibolga menjelang pemanasan Pemilihan Presiden pada 2009 silam.

Terlepas dari deklarasi politik Sri Sultan yang kala itu siap dicalonkan menjadi Calon Presiden pada 2009, kita semakin yakin bahwa nasionalisme 1908, 1928 dan 1945, tak lagi diragukanMenjadi orang Indonesia tidak menghapus historis bahwa Sultan adalah orang JawaDalam frame Mangunwijaya, Sultan telah menjadi mahluk pasca-JawaIbarat seorang penyandang S-3 tetap saja berhak memakai gelar S-2 dan S-1.

Kala itu, Sultan berani blak-blakan menyempal dari kultur Jawa yang introvert dan lazimnya menyukai bahasa simbol yang implisitPenampilan Sultan ketika ia mendeklarasikan dirinya siap menjadi Calon Presiden, terkesan ekstrovert layaknya seorang Batak atau BugisRada mirip dengan Amien Rais, mantan Ketua MPR yang pernah dijuluki seorang “Baso” alias Batak-Solo itu“Saya siap kalah,” kata SultanToh, jabatan presiden bukanlah demi semata kekuasaanMelainkan demi rakyatSekiranya ia menjadi presiden, ia minta rakyat, apalagi yang beretnik Jawa, jangan marah jika “raja”-nya dikritikSultan atau presiden, adalah insan biasaBukan dewaSayang, kala itu, Sri Sultan belum berpeluang menjadi Calon Presiden.

***
Dua tahun kemudian, Presiden SBY melontarkan wacana pemilihan Gubernur DIY yang demokratis, dipilih rakyat dalam Pilkada seperti halnya di seluruh daerah di Indonesia, dan tak lagi melalui penetapan yang otomatis mengangkat Sri SultanNamun kritik dan “perlawanan” terdengar dari berbagai penjuruTak terkecuali dari para pakar, dengan seluruh argumentasinya.

Lepas dari prokontra itu, sebuah bangsa selalu bergerak ke depanJika pun menoleh ke masa silam, bukan berarti hendak melestarikan semua system nilainya yang tidak sesuai dengan semangat masa depanNamun mencuplik substansi dan nilainya yang tak lekang oleh zaman adalah sebuah keharusan.

Tak bisa dimungkiri bahwa Sri Sultan HB IX adalah seorang republik yang sangat nasionalisDia sediakan Yogyakarta sebagai ibukota republic ketika wilayah Indonesia hatta tinggal ”sepayung” dan selebihnya dikuasai oleh Kolonial BelandaTetapi apakah nilai yang kita kagumi itu akan hilang jika sekiranya Gubernur DIY dipilih secara demokratis, dan tak lagi ditetapkan seperti selama ini? Tidak! Sejarah masa lalu tak bisa diubah, seperti halnya Indonesia pernah menganut system parlementer dan bentuk Negara RIS (Republik Indonesia Serikat)Yang bisa diubah adalah masa depan, sebagaimana bangsa ini sudah berkali-kali mengandemen berbagai pasal dalam UUD 1945.

Semua daerah mempunyai masa lampau, termasuk pernah menjadi kerajaan, seperti Kesultanan Deli di Medan, Sultan Siak di Riau, juga di Aceh yang terkenal di masa Sultan Iskandar MudaJuga di Kalimantan, Bali, Sulawesi, Ternate dan sebagainyaNamun semua daerah itu yang pernah terhimpun dalam RIS merelakan “masa silamnya” ketika pilihan kepada NKRI makin menghunjam, termasuk kembali ke UUD 1945 pada 1959 laluPanta re, semua selalu mengalirApakah keistimewaan DIY tetap dipertahankan? Saya kira yaMungkin pada system kepemilikan tanah, dan kebudayaannyaSeperti halnya keistimewaan Naggroe Aceh Darussalam dengan syariat Islam, Jakarta sebagai ibukota sehingga sejumlah walikotanya tidak dipilih, melainkan diangkat.

Ekspresi politik dan kebudayaan anak-anak muda di masa depan pasti semakin demokratis dalam suatu masyarakat yang semakin terbukaSesungguhnya, resultante dari polemik DIY mestilah kita teruntukkan bagi masyarakat di masa depanBukan untuk kita yang mungkin masih memiliki hubungan emosional yang dalam dengan masa silam dan rada rikuh melepaskannya(**)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gaya Dahlan Patut Ditularkan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler