Awas, Balas Dendam dalam Kasus Suap DGS BI

Rabu, 03 November 2010 – 17:00 WIB

JAKARTA - Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam perkara suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI terhadap empat politisi DPR periode 1999-2004, terus dipersoalkanPasalnya dalam perkara itu, putusan atas Dudhie Makmun Murod, Udju Djuhaeri, Hamka Yandhu dan Endin AJ Soefihara telah membuat 26 politisi lainnya sebagai tersangka.

Pengajar paskasarjana ilmu hukum di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Syaiful Bakhri, mengatakan, putusan Pengadilan Tipikor memang tidak terkontrol

BACA JUGA: Gugatan Pajak PT Bumi Resources Ditolak

Berbicara pada 'Bedah Kasus Cek Perjalanan Pemilihan Calon DGS BI Tahun 2004' yang digelar Jakarta Study Center di Jakarta, Rabu (3/11), Syaiful menegaskan, di Pengadilan Tipikor tidak ada kasus pidana korupsi yang tidak terbukti.

Namun yang dikhawatirkan Syaiful jika kasus itu sengaja didomplengi untuk kepentingan politis
"Di Pengadilan Tipikor, tidak ada pemidanaan yang tidak terbukti

BACA JUGA: Baharuddin Sangkal Terima TC

Apakah ini bentuk balas dendam rezim?" ujar Syaiful.

Hanya saja Syaiful tidak menjelaskan lebih jauh siapa rezim yang balas dendam itu
"Soal ini memang perlu analisa lebih jauh jauh," ucapnya.

Namun demikian dikatakan pula, Hakim Pengadilan Tipikor memang sering bertindak represif karena hanya megacu pada aturan perundang-undangan tanpa melihat pada wawasan keadilan

BACA JUGA: KPK Diminta Lupakan Saja Nunun

Akibatnya, lanjut Syaiful, putusan hakim Pengadilan Tipikor yang represif ini telah menimbulkan perlawanan.

"Kalau sampai dilaporkan ke Komisi Internal MA, Komisi Yudisial dan bahkan Komnas HAM, itu adalah bentuk perlawanan terhadap Hakim TipikorPak Panda mengadu ke KY dan Komnas HAM, itu juga bentuk perlawanan terhadap Hakim Tipikor," ulasnya.

Menurut Syaiful, seharusnya hakim tidak sekedar represif, tetapi juga progresif"Progresif artinya berani melawan aturan yang tidak mencerminkan keadilan untuk membuat satu putusan yang adil," cetusnya.

Pembicara lainnya dari Badan Advokasi PDI Perjuangan, Arteria Dahlan, mengatakan, kasus suap pada pemilihan DGS BI itu memang sudah aneh sedari awal"Anomali (keanehan) pertama, karena keterangan Agus Condro dipaksakan jadi fakta di persidangan," ucap Arteria.

Meski demikian Arteria tak menampik jika ada kepentingan lain dalam kasus suap yang menjadikan 14 politisi PDIP periode 1999-2004 ikut-ikutan jadi tersangka"Saya tak tahu, apakah ini pembusukan atau malah pengerdilan PDI Perjuangan," tandasnya.

Arteria menambahkan, ada kesan kasus itu dipaksakan agar muncul tokoh-tokoh baru dari PDIP yang terseretDimisalkannya, terkait munculnya nama Panda Nababan sebagai tersangka.

Keanehan dalam penetapan Panda sebagai tersangka, antara lain karena dianggap akrab dengan Miranda Gultom yang akhirnya memang terpilih sebagai DGS BIDisebut pula soal kehadiran Panda dalam rapat Kelompok Fraksi (Poksi) PDIP di Komisi IX DPR.

"Hanya karena cipika-cipiki (cium pipi kanan kiri), disebut akrabPemilihan DGS BI itu kerjaannya di Komisi IX DPR, tetapi disebut Panda ikut rapat Poksi padahal beliau (Panda) anggota Komisi II," ucap Arteria.

Selain Panda, lanjut Arteria, kini mulai dimunculkan tokoh-tokoh penting di PDIP seolah-olah terlibat dalam kasus ituAntara lain adalah Tjahjo Kumolo dan Emir Moeis"Ada kesan yang dibuat kasus jilid baru yang menyeret IEM (Izedrik Emir Moeis) dan TJK (Tjahjo Kumolo)," tukas Arteria(ara/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tersangka Kasus TC Tolak Beri Keterangan ke KPK


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler