Stealthing telah menjadi inti dari hukuman pemerkosaan baru-baru ini di Selandia Baru. (Unsplash: Reproductive Health Supplies Coalition)

Partai Liberal di Canberra sedang mengusulkan perubahan legislasi persetujuan seksual untuk melarang praktik yang dikenal sebagai "stealthing".

Stealthing adalah tindakan membuka kondom saat beraktivitas seksual tanpa persetujuan.

BACA JUGA: Australia Siap Membantu Pencarian Kapal Selam KRI Nanggala 402 di Indonesia

Pemimpin oposisi Elizabeth Lee mengatakan, stealthing membawa risiko pada kesehatan fisik dan psikologis, termasuk penularan penyakit seksual, kehamilan yang tidak direncanakan, depresi, dan dalam kasus tertentu, stress akibat trauma (post-traumatic stress disorder).

"Stealthing adalah hal yang mengerikan yang bisa dilakukan pada baik perempuan maupun laki-laki, pada siapa saja," kata Elizabeth. 

BACA JUGA: Joan Bush Merayakan Ulang Tahunnya yang ke-109 dengan Kue dan Sampanye

"Tindakan tersebut benar-benar mengikis kepercayaan yang diberikan seseorang pada saat-saat yang paling rentan.

"Ini adalah pelanggaran martabat dan otonomi. seseorang"

BACA JUGA: Harga Apartemen Turun di Tengah Booming Properti di Australia

Elizabeth mengatakan dakwaan pemerkosaan terhadap seorang pria di Selandia Baru awal bulan ini setelah dia melepaskan kondom diam-diam saat berhubungan seks tanpa persetujuan perempuan telah membuat preseden hukum baru di negara itu, sehingga wilayah ibu kota teritori Australia ACT juga dapat "dengan jelas menetapkan bahwa stealthing ilegal di ACT ".

Rancangan Undang-Undang yang dipresentasikan Elizabeth akan  akan mengubah ketentuan yang berlaku saat ini di bawah Undang-Undang Kejahatan yang secara eksplisit menyatakan bahwa persetujuan seseorang dinegasikan jika disebabkan oleh kesalahan yang disengaja tentang penggunaan kondom.

"RUU ini akan membuat hukum kita makin jelas, masyarakat lebih aman, dan suara kita lebih lantang dan jelas bahwa tidak berarti tidak."  Penelitian menyebutkan bahwa satu dari tiga perempuan dan satu dari lima laki-laki menjadi korban stealthing

Para peneliti di Monash University pada 2018 menemukan satu dari tiga  dan satu dari lima pria yang mengambil bagian dalam penelitian terhadap lebih dari 2.000 orang telah menjadi korban stealthing.

Pemerintah ACT melihat praktik tersebut sudah ilegal berdasarkan undang-undang yang ada, namun Jaksa Agung Shane Rattenbury mengatakan mungkin "menciptakan definisi eksplisit dari stealthing akan menempatkan tindakan ini melampaui keraguan."

"Respons peradilan pidana yang kuat dan jelas terhadap pelanggaran seksual adalah hal yang penting, tidak hanya bagi korban dan penyintas tetapi juga seluruh komunitas," kata Shane Rattenbury.

"Sederhananya, stealthing adalah pemerkosaan."

"Penting bahwa kita memiliki budaya masyarakat yang memahami dan mempromosikan keamanan dan persetujuan seksual."

Shane Rattenbury mengatakan, hal persetujuan seksual itu adalah bagian dari perjanjian antara Partai Buruh ACT dan Partai Hijau ACT untuk kemajuan reformasi dan memodernisasi undang-undang tersebut.

Seorang juru bicara Canberra Rape Crisis Center mengatakan, undang-undang yang ada saat ini masih mengejar harapan masyarakat.

"Undang-undang saat ini seputar kekerasan seksual tidak berkembang dengan kecepatan evolusi masyarakat kita," kata juru bicara itu.

"Ini adalah masalah yang signifikan di bidang pelecehan seksual - dan reformasi hukum terus berusaha untuk mengejar cara baru orang-orang yang menjadi sasaran kejahatan."

Organisasi ini berharap perubahan dalam undang-undang akan berarti kekerasan seksual tidak lagi menjadi "kejahatan yang paling tidak dilaporkan di masyarakat" dan tingkat kekerasan seksual akan menurun.

"Mengubah undang-undang tidak mengubah budaya, tetapi jika melakukan hal yang salah - dalam hal ini kekerasan seksual - menjadi lebih sulit dan ada risiko pertanggungjawaban hukum yang kuat, maka tingkat kekerasan seksual akan menurun di komunitas kita. ," pungkasnya.

Artikel ini diproduksi oleh Hellena Souisa dari .

BACA ARTIKEL LAINNYA... India Mengalami Gelombang Kedua Penularan COVID-19, Rumah Sakit dan Layanan Kremasi Jenazah Penuh

Berita Terkait