jpnn.com - RUPANYA, Bung Karno tak pernah ingat cerita detail, detik demi detik bagaimana dirinya dipilih menjadi Presiden Republik Indonesia.
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Saat Menjabat Presiden, Bung Karno Pernah Merasa Begini Lho...
"Tidak kuingat lagi kejadian itu sampai soal-soal yang kecil seperti misalnya, siapa yang sesungguhnya mengusulkanku," kenang Bung Karno, termuat dalam buku Bung Karno--Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, besutan Cindy Adams.
Aku, sambung Bung Karno, hanya ingat seseorang mengeluarkan ucapan yang tidak digetari oleh kata-kata yang berilham seperti, "nah, kita sudah bernegara mulai dari kemarin. Dan suatu negara memerlukan seorang Presiden. Bagaimana kalau kita memilih Soekarno?"
BACA JUGA: Coba Berpikir Jernih, Apa Mungkin PDIP Itu PKI?
Merujuk dokumen bertajuk Rapat Panitia Kemerdekaan Indonesia, yang dikoleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), peristiwa itu terjadi pada Sabtu, 18 Agustus 1945 di Gedung Komonfu, Pejambon No.2, Jakarta.
Muhammad Yamin mencatat keputusan rapat itu dengan tulisan tangan. Catatan Yamin diketik ulang. Dua arsip bersejarah ini sedang dipamerkan di Museum Nasional, Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta. Sejak 2 Juni dan kabarnya hingga 16 Juni nanti.
BACA JUGA: Bu Mega Pernah Mau Menggaplok Tentara, Begini Ceritanya
JPNN.com menyambangi itu pameran, 4 Juni lalu. Begini bunyi arsip tersebut…
Rapat Panitia Kemerdekaan Indonesia dalam sidangnja pada tg. 18, boelan 8, th. 2605, di gedung Komonfu, Djakarta
I. Telah menetapkan Oendang-Oendang Dasar Negara Republik Indonesia.
II. Telah memilih sebagai Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno dan sebagai wakil-Presiden Drs. Mh. Hatta.
"Aku sakit. Aku lelah. Aku terlalu sibuk bekerja demi tanah air kami dan demi kelangsungan hidupnya, sehingga aku tidak mengetahui semua kejadian sampai yang sekecil-kecilnya serta rentetan kejadian yang berlangsung," ungkap Bung Karno.
Barisan Berani Mati
Merujuk buku otobiografinya, Bung Karno justru ingat apa yang terjadi sehari sebelumnya, beberapa saat setelah ritual Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Si Bung mengisahkan…
"Sudiro, sekretaris pribadiku, mengetok pintu kamar tidur. Aku mendekam di atas kursi dengan kepala pada kedua belah tanganku," kenangnya.
Sudiro melapor, "lima orang opsir Kenpeitai telah menyerondong masuk ke kamar tengah. Mereka minta bicara dengan Bung Karno. Anak-anak kita tinggal menunggu perintah. Apa yang akan kita lakukan?"
Soekarno keluar. Dijumpainya para serdadu Jepang.
"Kepala Polisi yang kelihatan marah," kenangnya, mendesak sambil melempar tanya, "apakah yang tuan lakukan, Soekarno San?"
Lunak saja dijawab Bung Karno. "Memproklamirkan kemerdekaan kami."
"Tuan tidak boleh melakukannya…perintah dari pihak Sekutu kepada kami supaya meneruskan roda pemerintahan sampai mereka datang. Dan Gunseikan minta disampaikan tentang larangan keras untuk menyatakan kemerdekaan," hardiknya.
"Tapi," sahut Si Bung tetap lunak, "pernyataan itu sudah diucapkan. Saya baru saja mengucapkannya."
Serdadu itu melangkah maju. Tangannya naik ke pinggang. Soekarno menyadari ia coba-coba diancam.
"Akan tetapi layangkanlah pandangan selintas berkeliling, maka akan terlihatlah ratusan wajah yang garang bersenjata kampak, sabit dan bambu runcing yang dengan satu kali tusukan dapat memburaikan usus seseorang," paparnya mengenang hari itu.
Peristiwa ini cukup membekas di benaknya. Disebutkannya pula, "kematian yang ditimbulkan oleh bambu runcing berlangsung lambat sekali dan sangat menyiksa."
Tak mau berakhir tragis, tanpa berkata-kata, para serdadu Jepang itu angkat kaki.
"Setelah Jepang itu pergi aku mengeluarkan sebuah seruan untuk membentuk Barisan Berani Mati yang dengan sukarela akan mempertahankan bendera mati-matian. Peristiwa itu tak kan terlupakan untuk selama-lamanya," kenangnya.
Sejurus waktu kemudian, cerita dia, orang-orang berumur yang berkumpul di tempat keteduhan di bawah pohon-pohon kayu, perempuan-perempuan yang menggendong anak, semua maju berdesak-desak.
Fatmawati, lanjutnya, mengadakan dapur umum. Menyediakan makanan bagi ratusan orang gelombang pertama yang laksana benteng manusia melindungi Pegangsaan Timur 56.
Setelah itu, dia tak ingat pasti apa yang terjadi. Dia sakit. Lelah.
Nah, merujuk arsip yang juga sedang ikut dipamerkan di Meseum Nasional, pada 17 Agustus 1945 ada surat edaran bernomor D.K. I/20-7, yang isinya sebagai berikut:
Bersama ini kami memberi tahoekan, bahwa besok hari Sabtoe tg. 18-8-05 sesoedahnja pelantikan akan diadakan Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia di gedoeng Komonfu Pedajambon No. 2.
ATJARA:
I. Menetapkan Oendang-oendang Dasar
II. Memilih Presiden dan Wakil Presiden
III. Dan lain-lain.
Dalam buku Bung Karno--Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Si Bung cerita, "pagi-pagi sekali diadakan pertemuan para pemimpin yang mewakili golongan-golongan agama, masyarakat, suku, pedagang dan golongan penduduk di Indonesia."
Dan…"dalam pertemuan inilah mereka memilihku dengan suara bulat sebagai Presiden."
Apa reaksi Bung Karno?
"Kata-kataku di saat itu sebagai tanda persetujuan dan sekarang ini kuabadikan ialah, "baiklah". Hanya itu. Itulah yang seluruhnya kuucapkan. "Baiklah". Aku tidak membikin kegemparan. Tak seorang pun yang membikin kegemparan. Kami tidak punya waktu itu. Terlalu banyak pekerjaan yang harus dihadapi."
Inilah yang dia ingat. Pulang dari rapat itu, Presiden Republik Indonesia pulang dari Pejambon ke Pegangsaan Timur berjalan kaki.
Di tengah jalan jumpa penjaja sate. Tidak berbaju dan berkaki ayam alias nyeker.
"Sate ayam lima puluh tusuk," seru Bung Karno sembari jongkok di dekat selokan. Kotor. Itulah titah pertama Presiden Republik Indonesia. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Satu Lagi, Patung Putra Sang Fajar Hadir di Blitar
Redaktur & Reporter : Wenri