jpnn.com, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan buku bertajuk Negara Butuh Haluan cetakan pertama ludes dalam satu bulan setelah peluncuran pada (10/9).
Pria yang akrab disapa Bamsoet itu kini kembali mencetak buku tersebut. Hanya saja tidak disebutkan berapa banyak buku akan kembali hadir.
BACA JUGA: Bamsoet Jawab Hoaks Amendemen UUD 1945 Lewat Buku Negara Butuh Haluan
Buku tersebut merupakan kelanjutan dari seri buku 'Cegah Negara Tanpa Arah' yang dirilis awal tahun 2021.
Bamsoet menekankan pentingnya keberadaan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai visi negara mewujudkan capaian Indonesia dalam 50 hingga 100 tahun ke depan.
BACA JUGA: Bamsoet Sebut Papua jadi Juara Umum di Cabor Tarung Derajat
Buku tersebut didukung dengan berbagai kalangan seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Lipi), Forum Rektor Indonesia, Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (Hipiis), Organisasi Kemasyarakatan dan Organisasi Keagamaan mulai dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, dan Majelis Tinggi Agama Konghucu.
Gagasan tersebut direkomendasikan MPR periode 2009-2014, dan ditindaklanjuti MPR periode 2014-2019 dengan memunculkan amendemen terbatas terhadap konstitusi untuk memberikan kewenangan kepada MPR RI dalam menetapkan PPHN.
BACA JUGA: Bamsoet: IMI dan Kemenhub Siapkan Tiga Regulasi Pengembangan Otomotif Indonesia
"Buku ini menepis berbagai hoax yang beredar di masyarakat seputar rencana amendemen terbatas terhadap konstitusi, yang kemudian banyak dipelintir dan 'digoreng' sebagai upaya perubahan periode presiden menjadi 3 kali," kata Bamsoet.
Padahal, lanjut dia, rencana amendemen terbatas hanya fokus kepada PPHN yang sangat diperlukan sebagai bintang penunjuk arah pembangunan agar bangsa ini tidak terus menerus berganti haluan manakala terjadi pergantian kepemimpinan dari tingkat pusat hingga daerah.
"Hadirnya PPHN sebagai visi negara, jangan dipahami dengan pendekatan politik praktis," ujar Bamsoet.
Rektor Institut Pertanian Bogor sekaligus Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia 2021-2022 Arif Satria mengatakan seluruh anak bangsa tentu ingin Indonesia menjadi bangsa besar.
Menurut dia, proses menuju bangsa besar tidak sebentar. Menuju bangsa besar memerlukan upaya besar juga.
Upaya terbesarnya merupakan proses perencanaan jangka panjang yang matang, terukur dan berkesinambungan.
"Dalam konteks pembangunan industri dirgantara, Brasil kurang diperhitungkan pada tahun 1980-an. Sementara Indonesia sudah mulai dengan Nurtanio dan lalu berubah menjadi IPTN, dan kini menjadi PT Dirgantara Indonesia," ujar dia.
Guru Besar Ekonomi Politik IPB sekaligus Ketua Dewan Pakar dan Ketua Harian Brain Society Center (BS Center) Prof. Didin S Damanhuri melihat keberadaan PPHN merupakan kemajuan berdasarkan RPJMN yang hanya berbasis kepada visi presiden terpilih.
"Sudah saatnya Indonesia memilih mazhab pemikiran ekonomi berbasis konstitusi. Sebab, kelemahan kita sekarang ini ialah berjalan tanpa arah yang jelas dan hanya mengandalkan RPJMN yang dikembangkan dari visi dan misi presiden terpilih," ungkap dia.
Selain buku Negara Butuh Haluan, Bamsoet menerbitkan berbagai buku. Antara lain, 'Cegah Negara Tanpa Arah' (2021); 'Hadapi Dengan Senyuman, Pandemi Covid-19' (2021); 'Save People Care for Economy' (2020); 'Tetap Waras. Jangan Ngeres' (2020), dan 'Solusi Jalan Tengah' (2020).
Ada juga buku 'Jurus 4 Pilar' (2020); 'Akal Sehat' (2019); 'Dari Wartawan ke Senayan' (2018); 'Ngeri-Ngeri Sedap' (2017); 'Republik Komedi 1/2 Presiden' (2015); 'Indonesia Gawat Darurat' (2014); '5 Kiat Praktis Menjadi Pengusaha No.1' (2013); 'Presiden dalam Pusaran Politik Sengkuni' (2013), dan 'Skandal Bank Century di Tikungan Terakhir' (2013).
Sebelumnya ada buku 'Republik Galau' (2012); 'Pilpres Abal-Abal Republik Amburadul' (2011), "Perang-Perangan Melawan Korupsi' (2011), 'Skandal Gila Bank Century' (2010); 'Ekonomi Indonesia 2020' (1995); 'Kelompok Cipayung, Pandangan, Realita' (1991), 'Mahasiswa Gerakan, dan Pemikiran' (1990). (mrk/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... HUT TNI, Bamsoet Soroti Rumah untuk Tentara Hingga Ancaman Perang Ideologi
Redaktur : Dedi Sofian
Reporter : Dedi Sofian, Dedi Sofian