Bangun Sekolah Tahan Gempa Sekaligus 'Rescue Center'

Selasa, 17 November 2009 – 06:25 WIB
EVAKUASI - Warga setempat saat mengevakuasi anggota keluarga mereka yang sakit di daerah Gunung Tigo, Padang Pariaman. Foto: Nany Wijaya/Jawa Pos.
Pada hari ke-40 pascagempa, wartawan dari grup JPNN kembali ke Gunung Tigo, Kabupaten Padang PariamanSebelumnya, sepekan pasca gempa pun dia sudah ke sana

BACA JUGA: Mud Max Lapindo, Dokumenter atau Propaganda?

Berikut beberapa catatannya tentang kehancuran akibat guncangan 7,9 skala Richter yang mencabik-cabik daerah tersebut dan rencana-rencana lanjutan ke depan.

Laporan NANY WIJAYA, Padang

DI
sela-sela mengurus dan mempersiapkan lokasi sekolah yang akan dibangun dengan dana bantuan para pembaca Jawa Pos, saya menyempatkan berkunjung ke daerah perbukitan Gunung Tigo (baca: Gunuang Tigo) di Kabupaten Padang Pariaman beberapa hari lalu.

Dari sisa bantuan pembaca yang belum tersalurkan, kami merencanakan untuk membangun dua sekolah, "masing-masing di Padang dan Padang Pariaman" dengan konsep seperti sekolah-sekolah di Jepang
Tak hanya tahan gempa, tapi juga sebagai rescue center ketika terjadi bencana

BACA JUGA: Silakan Pilih, Haji Maktab atau Haji Balad

Untuk itu, Jawa Pos bekerjasama dengan konsultan JICA, Joshie "Arenco" Halim, Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya, Universitas Andalas (Unand) Padang, dan harian Padang Ekspres Group (Jawa Pos Group).

Ini bukan kali pertama saya ke Gunung Tigo yang hancur di beberapa titik karena gempa tektonik
Sebagaimana diketahui, ketika terjadi gempa tektonik berkekuatan 7,9 skala Richter pada 30 September lalu, beberapa titik di kawasan perbukitan yang penduduknya lumayan padat itu mengalami longsor berat

BACA JUGA: Sukses dan Punya Bisnis, Talkshow Masih Prioritas

Ratusan orang tewas terkubur hidup-hidup oleh bukit yang longsor.

Tak seperti di Padang, tak banyak korban di Gunung Tigo dan sekitarnya yang bisa diselamatkanBahkan, yang di Tandikek, tak seorang pun bisa diselamatkan, sehingga daerah itu pun dinyatakan sebagai kuburan masal dengan jumlah korban tewas sekitar 300 orang.

Kali pertama saya ke Gunung Tigo justru bersama Bupati Padang Pariaman Drs H Muslim Kasim Ak MM dan tim medis RS Petrokimia Gresik yang dipimpin langsung oleh dr Singgih pada hari ketujuh pascagempa.

Baru kali itu saya mengunjungi daerah bencana bersama pejabat pemerintahJujur, saya terkesan oleh cara bupati yang pernah bertugas di Dolog Jatim selama 10 tahun (1984-1994) dengan jabatan terakhir Waka Dolog Jatim itu mendatangi para korban.

Dia datang ke lokasi tanpa protokolerJuga, tak ada tim pendahulu yang "mengamankan" lokasiDia menemui langsung para korban yang selamatKepada mereka, sarjana akuntansi lulusan Unpad Bandung tersebut tak hanya bertanyaTapi, memberikan langsung apa yang dibutuhkan para korbanSebab, dia membawa serta sebuah mobil boks berisi bantuan bagi para korbanMulai dari natura sampai susu bayi, pakaian layak pakai, dan tenda darurat yang sederhana.

Pada saat yang sama, dia juga memberikan sendiri uang lauk-pauk kepada para korbanCara memberikannya pun unikYakni, meminta mereka yang belum mendapatkan bantuan pemerintah itu untuk berkumpul, kemudian menyerahkan layaknya seorang bapak yang memberikan uang saku kepada anak-anaknya yang akan berangkat sekolah.

Sementara Pak Bupati sibuk dengan urusannya, saya memisahkan diri bersama dr Singgih dan tim medisnyaDi lokasi yang sama, yakni di Korong (semacam dusun) Patamuan, kami bertemu seorang ibu yang bayinya sudah berhari-hari demamKarena kebetulan sedang bersama tim medis, bayi itu pun langsung ditanganiTapi, karena ketika itu mereka belum punya posko, penanganan dilakukan secara darurat di teras sebuah rumah yang kebetulan masih utuh.

Untuk gempa di Sumatera Barat ini, Petrokimia Gresik tidak hanya mengirimkan tim medis yang berjumlah 10 orang, tapi juga puluhan dus besar obat-obatan, belasan ton beras, bahan makanan lain, selimut, serta tendaBantuan itu diangkut KRI Teluk Mandar bersama sumbangan pembaca Jawa Pos lainnyaDi antaranya 50 tabung (isi) elpiji 12 kg dari PT Pertamina dan 100 kompor gas PT Energi Multitech Indonesia.

Ketika pagi itu rombongan kami tiba, warga di kawasan tersebut belum mendapat bantuan apa punBaru siangnya bantuan dan relawan lain yang membawa bantuan medis, tenda, serta keperluan lain datang berduyun-duyun.

Kalaupun sebelumnya banyak relawan yang datang, konsentrasi mereka bukan membantu yang hidup, tapi berusaha menyelamatkan yang tertimbun longsoran bukit Gunung TigoSayang, yang berhasil dievakuasi umumnya para korban yang sudah menjadi jenazahMemang rada mustahil untuk bisa bertahan hidup di bawah timbunan tanah bukit yang longsor seperti itu.

Beberapa hari lalu, saya kembali ke Kampung PatamuanBukit Padang Alai yang longsor tersebut masih belum banyak berubahKalaupun ada yang berbeda, lokasi itu sudah bersihTak ada lagi tanah longsoran dan batang-batang pohon kelapa yang berserakanJalan di situ juga sudah cukup lebar dan cukup keras untuk dilalui mobil.

Ketika saya ke sana pada hari ketujuh itu, jalan tersebut cuma jalan setapak yang hanya cukup untuk dua orangJika tidak hati-hati jalannya, akan tergelincir masuk ke jurang yang menganga lebar di sampingnya.

Ketika saya kembali ke situ akhir pekan lalu, jurang tersebut masih menganga selebar dan sedalam yang duluRumah bercat tembok pink yang terasnya pernah digunakan dr Irfan dari tim medis RS Petrokimia Gresik mengobati bayi yang demam tersebut masih di sanaTegak berdiri seperti sebelumnya dan bersih.

Ketika saya tiba di situ, di ruang tamunya hanya ada dua pria muda yang sedang bersantaiSaya yang ketika itu didampingi Iyut, reporter cantik dari PadangTV (grup JTV-Jawa Pos), tak sempat bertanya banyakSebab, kami berdua ingin segera sampai ke Koto Tinggi sebelum hari gelap.

Kami berdua juga tak sempat bertanya kepada pemilik warung di sebelah rumah itu, ke mana gerangan orang-orang yang pernah kami temui pada hari ketujuh pasca gempa yang laluMisalnya Aroni (50), yang anak lelakinya, usia 11 tahun, tewas terkubur longsoran Gunung Padang Alai ketika sedang asyik menonton TV bersama lima temannyaApriadi baru ditemukan pada hari keenam pasca gempa, oleh Aroni yang dibantu tetangga-tetangganya.

Saya juga tak sempat bertanya di mana gerangan Ibu Umay sekarang tinggalWanita berumur 65 tahun tersebut, pada hari ketujuh itu, juga saya temui di teras rumah tersebutDia kehilangan 12 anggota keluarganyaSepuluh orang di antaranya baru ditemukan pada hari keenam itu, bersamaan dengan jasad ApriadiMereka juga sudah tak bernyawa saat ditemukan.

Yang saya agak heran ketika datang kembali ke situ, rumah di samping rumah pink ituDi situ dulu saya bertemu KamalSeorang lelaki berumur 47 tahun yang sebelum gempa tinggal di Jakarta.

Kamal juga kehilangan 12 anggota keluarganyaDelapan orang berhasil ditemukan dalam keadaan hidupTapi, mereka meninggal karena tak ada akses untuk mendapatkan pertolongan"Mereka hanya bertahan hidup selama dua hari," tuturnya dengan wajah sedih.

Ketika saya datang dulu, rumah tersebut tinggal separoTapi, gorden kamar, lemari hias (orang biasa menyebutnya bufet) di ruang tamu berikut isinya, dan televisinya masih utuhNamun, lemari pintu hias itu sudah tak bisa lagi dibuka karena bagian depannya tertutup reruntuhan tembok dan atap rumahDi halamannya juga masih berserakan beberapa kantong mayat bantuan Departemen Kesehatan yang berwarna kuning.

Saat saya kembali ke situ pekan lalu, sisa rumah itu sudah tak adaDiganti dengan rumah kayu semi-permanen yang dihuni kelapa-kelapaDi halamannya, seorang bapak setengah baya yang saya lupa namanya sedang sibuk membangun tungku untuk membakar kelapa-kelapa yang sudah kering tersebut.

"Kami belum bisa bekerja seperti duluTapi, kalau kelapa yang hanya sedikit ini bisa kami bakar jadi kopra, kan lumayan untuk menyambung hidup," tuturnya dengan wajah penuh optimisme.

Dengan berjalan kaki, seperti hari ketujuh dulu, saya melintasi bukit Padang AlaiBeberapa remaja pria yang berpapasan dengan kami menawarkan mengantar kami dengan sepeda motornyaSaya pikir mereka itu pengemudi ojek, ternyata bukanMereka hanya kasihan melihat kami berdua berjalan kaki.

Beda dengan hari ketujuh duluBeberapa anak muda yang berani mengemudikan motornya di jalan-jalan darurat memanfaatkan kesempatan untuk jadi ojekLumayan juga penghasilan mereka karena bisa mencapai Rp 100 ribu per hari.

Saya dan Iyut memang sengaja berjalan kakiUntuk mengenang kembali perjalanan kami pada hari ketujuh dulu, di mana kami harus sangat berhati-hatiKalau tidak, kaki akan tersandung pohon kelapa atau tiang listrik yang tumbangSaat itu, yang terancam bukan hanya kaki, tapi juga leher yang bisa tersangkut kabel listrik yang tiangnya telah setengah tumbangAtau, bisa juga dahi kita terantuk tiangnya yang melintang di tengah jalan.

Saat itu, ketika jalan masih sangat darurat, saya dan Iyut sempat juga naik ojekNamun, tidak jauh karena takut terjungkalBegitu juga tim dokter dari Petrokimia GresikSetelah lelah memikul obat-obatan yang satu dus besar, mereka terpaksa menggunakan ojek.

Ketika kami berdua menapak tilas jejak kami sendiri di Padang Alai, langit sedang terikTapi, jika dibanding hari ketujuh dulu, teriknya matahari pekan lalu jauh lebih bersahabatApalagi, di sepanjang perjalanan sudah banyak warga yang kembali menempati rumahnya yang masih dalam kondisi berantakanYang rumahnya tak bisa lagi ditinggali, ya, tinggal di tenda-tenda yang didirikan di depan atau samping puing-puing rumah mereka.

Berbeda dengan dulu, kali ini kami banyak mendapat tawaran mampir dan minum dari wargaPada hari ketujuh dulu, kami harus berjalan sejauh 18 kilometer (PP) tanpa ada yang menawari minumBeli pun tak bisa karena juga belum ada yang berjualan.

Sebaliknya, ketika itu, kami juga tak bisa memberikan apa-apa kepada warga dan anak-anak yang jadi korbanNamun, pekan lalu, kami berdua dan Pemimpin Redaksi Pos Metro Padang (Jawa Pos Group) Sukri bisa berbagi roti, makanan kecil, bahkan permen dan permainan puzzle (gambar yang bisa dibongkar pasang).

Permen dan puzzle-puzzle itu saya dapat dari Dian, pramugari Garuda rute Jakarta-PadangPramugari cantik tersebut juga pernah memberi saya dua bungkus permen saat saya dan dr Singgih dalam penerbangan Surabaya-Jakarta untuk kemudian ke Padang dengan membawa satu tas besar berisi obat bius dan obat-obat injeksi (antibiotik dan anti nyeri).

Permen-permen dan mainan-mainan itu sangat menghibur anak-anak korban gempa di Padang Alai dan Gunung Tigo(*/iro)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Hermanto Belum Tahu Kantor, Tugas Pertama Alex Jaga Kantor


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler