Mud Max Lapindo, Dokumenter atau Propaganda?

Senin, 16 November 2009 – 05:35 WIB
School of Earth and Space Exploration (Jurusan Eksplorasi Bumi dan Antariksa) Arizona State University Amerika (ASU) membuat film dokumentasi terkait semburan lumpur Lapindo, yang di kalangan ahli internasional dikenal sebagai Lusi (lumpur Sidoarjo)Wartawan Jawa Pos, Rukin Firda, berkesempatan menyaksikan premier launching film tersebut di Scottsdale, Arizona, kota tempat ASU berada.
 
Premier film diadakan di Mondrian Hotel Scottsdale sekitar pukul 20.00 Jumat, 13 November

BACA JUGA: Silakan Pilih, Haji Maktab atau Haji Balad

Judul film berdurasi 47 menit tersebut memantik rasa penasaran untuk menyaksikannya
"MUD MAX: Investigative Documentary - Sidoarjo Mud Volcano Disaster?

BACA JUGA: Sukses dan Punya Bisnis, Talkshow Masih Prioritas

Bisa jadi ada yang menduga film tersebut adalah pelesetan film Mad Max, yang dibintangi aktor Hollywood Mel Gibson, yang dibuat beberapa seri


Beberapa kalangan diundang untuk menyaksikan premier film tersebut

BACA JUGA: Hermanto Belum Tahu Kantor, Tugas Pertama Alex Jaga Kantor

Di antaranya akademisi di universitas tersebutBeberapa pelajar Indonesia di ASU juga mendapat kesempatanPresiden Lapindo Brantas Inc Dharma Irawan Jenie tampak hadir bersama Relations and Social Affairs Lapindo Yuniwati.

Sebuah penampilan musik tradisional Jawa, gamelan, ditampilkan mengawali premier film tersebutYang unik, para nayaga (pemain gamelan) adalah beberapa pengajar dan karyawan perguruan tinggi ituDi tengah jeda antara penyajian gamelan dan pemutaran film, Direktur ASU Kip Hodges memberikan sambutan"Film ini dibuat untuk menunjukkan peran yang bisa dilakukan kalangan ilmuwan terkait bencana Lusi," kata Hodges, yang malam itu mengenakan baju bermotif batik di bagian belakangnya.

Film itu diawali dengan pemandangan khas alam IndonesiaLaut, gunung-gunung, dan sawahDiikuti penjelasan bahwa negara yang indah itu sebenarnya menyimpan potensi bencana karena berada di jalur cincin gunung api yang dikenal sebagai Ring of FireGambar yang ditampilkan adalah peta dunia dengan garis kuning mengelilingi Samudera Pasifik yang menunjukkan lokasi pegunungan di beberapa negara, termasuk Indonesia.

Gambaran itu langsung mengingatkan pada film dokumenter lain yang sukses yaitu Ring of FireKebetulan, dalam pembuatan MUD MAX, ASU bekerja sama dengan produser film Immodicus, yang juga memproduseri film Ring of Fire.Selanjutnya, di menit-menit awal film tersebut menampilkan rentetan bencana yang terjadi di Indonesia yang disebut-sebut berkaitan dengan posisi geologis Indonesia yang berada pada jalur Ring of FireMulai meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda pada 1880-an, sampai gempa di Jogja 2006, yang hanya selisih beberapa jam sebelum terjadi semburan liar di dekat lokasi pengeboran Lapindo di Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Mei 2006.

Sederet ahli pun ditampilkan dalam bentuk wawancara untuk menjelaskan keterkaitan potensi bencana di Indonesia dengan Ring of Fire tadiYang paling menonjol dan sering dimunculkan adalah Adriano Mazzini, peneliti proses geologis dan fisika Universitas Oslo, NorwegiaLelaki berdarah Italia tersebut bahkan beberapa kali ditampilkan sedang mengambil sampel atau mengadakan pengamatan pada fenomena semburan lumpur

Tidak saja yang terjadi di Sidoarjo, namun juga di tempat lain di IndonesiaDi antaranya Bleduk Kuwu, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah; Gunung Anyar, Surabaya; dan Kalanganyar, SidoarjoSepertinya, Mazzini mencoba menarik benang merah antara fenomena semburan lumpur tersebut dengan yang terjadi di Porong

Mazzini tampak seperti pemeran utama film tersebut karena lebih sering munculDia juga menjadi technical advisor selama pembuatan film tersebutBisa dikatakan Mazzini memang berperan rangkap, sebagai aktor utama dan pengarah teknik film.Selanjutnya, film fokus pada gempa di Jogja Mei 2006Disajikan rentetan demi rentetan peristiwa alam yang terjadi setelah gempa tersebut, termasuk munculnya semburan liar di dekat sumur Banjar Panji I di Jatirejo, PorongDigambarkan tujuh jam setelah gempa Jogja, terjadi hal yang tidak biasa di pengeboran Lapindo di JatirejoPaling menonjol adalah munculnya semburan liar sekitar 50 meter dari pengeboran.

Memang tidak secara tegas digambarkan bahwa semburan liar itu sebagai akibat gempa di JogjaNamun, penonton yang tidak mengikuti sejak awal perkembangan semburan tersebut, cenderung membuat kesimpulan seperti ituApalagi, rangkaian gambar gempa Jogja dan munculnya semburan liar di pengeboran Lapindo diulang beberapa kali.

Secara keseluruhan, memang banyak pengulangan yang ditampilkan dalam film ituTermasuk penjelasan para ahli yang mengarah pada kesimpulan bahwa semburan lumpur panas di Porong itu adalah natural disaster (bencana alam).Sementara dalam konferensi para ahli geologi internasional di Capetown, Afrika Selatan, 2008 lalu, para ahli berbeda pendapatSatu sisi menyebut sebagai natural disaster, sementara sisi lain menyebutnya dengan istilah man made.

Karena ada perbedaan pendapat itulah akhirnya diadakan votingHasilnya, sekitar 70 persen ahli geologi dunia menyatakan Lusi adalah man madeYang setuju dengan natural disater hanya sekitar 20 persenSisanya menyebutkan gabungan kedua penyebab tersebut
Meski begitu, film tersebut mencoba netral dengan tidak banyak membahas kontroversinyaAkibatnya, pemberian subjudul investigative documentary, jadi kurang tampak pada keseluruhan filmSebagian besar film tersebut lebih banyak mengulas teknis geologis, terutama yang menyangkut posisi Indonesia pada jalur Ring of Fire.

Film tersebut lantas mencoba untuk netral dengan menampilkan ahli-ahli lain yang menyatakan bahwa semburan liar itu berkaitan dengan pengeboran di JatirejoMeski porsinya tidak sebanyak mereka yang mendukung teori korelasi dengan gempa Jogja, bagi penonton kritis kemunculan pendapat itu cukup untuk memicu pemikiran terhadap kemungkinan teori man made disaster.Secara keseluruhan film tersebut sepertinya tidak ingin mengembangkan kontroversi terkait penyebab munculnya semburan liar di sumur Lapindo, yang sampai sekarang masih terus berlangsungFilm itu lebih memunculkan pada teori-teori geologis terjadinya mud volcanoBahkan, di bagian akhir film, diungkapkan bahwa para ahli yang berbeda pendapat sepakat menjadikan Lusi sebagai natural laboratory (laboratorium alam) guna pengembangan ilmu geologi.

Itu juga terjadi pada sesi diskusi panel seusai pemutaran filmHampir seluruh pertanyaan yang disampaikan berkaitan dengan teori-teori geologisYang patut disayangkan, panelis yang hadir dalam diskusi tersebut sebagian besar adalah ahli yang mendukung teori bahwa Lusi adalah natural disaster"Kami sudah mengundang ahli yang berbeda pendapat, namun mereka tidak bisa hadir," dalih Avian Tumengkol, juru bicara Immodicus

Di bagian akhir ditampilkan upaya-upaya yang telah dilakukan Lapindo terkait dampak sosial yang disebabkan semburan lumpurMunculnya Andi Darussalam Tabusala, yang disebut sebagai wakil keluarga Bakrie, terkesan sebagai justifikasi bahwa Lapindo tidak terkait dengan semburan lumpur panas tersebut.Andi memang menyatakan bahwa Lapindo telah mengeluarkan banyak uang untuk membantu menyelesaikan masalah yang terkait LapindoTapi, dia menegaskan bahwa bantuan tersebut tidak bisa diartikan bahwa Lapindo mengaku bersalah"Sebagai bentuk tanggung jawab sosialSeperti tetangga yang membantu tetangganya yang sedang dirundung masalah," katanya.

Kesan tersebut semakin kuat dengan ditampilkannya korban Lusi yang sudah direlokasi dan mendapatkan rumah di kompleks perumahan di Sidoarjo, yang dibangun LapindoKorban, yang tampaknya pasangan muda, mengaku sangat beruntung"Tidak pernah terbayangkan sebelumnya kalau kami akan mendapatkan rumah yang sebagus ini," kata sang suami yang berjenggot tersebut.

Namun, upaya menjaga netralitas film di tengah kontroversi yang masih terus berlangsung, luntur karena tidak ditampilkan korban yang belum terselesaikan masalahnya, sebagai penyeimbang pernyataan korban yang merasa diuntungkan tadi.Ending film tersebut makin mengesankan sulitnya menjaga netralitas dengan ditampilkannya perkembangan terakhir kasus Lusi yang menyebutkan bahwa polisi sudah menghentikan pemeriksaan dengan menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan)Hal itu diperkuat dengan penjelasan adanya desakan DPR agar pemerintah mengambil alih penanganan dampak Lusi.

Di sisi lain, tidak ditampilkan hasil voting para ahli geologis internasional dalam konferensi di Capetown, yang menunjukkan bahwa sebagian besar mereka (sekitar 70 persen) menyatakan Lusi bukan sebagai natural disaster, melainkan disebabkan faktor manusia (man made)Seharusnya, kalau memang berniat netral, fakta itu juga ditampilkan sebagai penyeimbang.

Yang juga patut dicermati adalah komentar Amanda Clarke, profesor dari Pennsylvania State University, salah satu ahli yang diwawancarai dalam film tersebutPeneliti penyebab letusan vulkanik itu menyatakan bahwa besarnya dampak Lusi karena terjadi di pemukiman yang padat"Andai saja itu terjadi di Texas, tidak akan terjadi chaos (kekacauan) seperti ini," katanya.

Namun, ketika ditanya apakah itu berarti aktivitas pengeboran harus jauh dari permukiman "apalagi permukiman padat seperti di Porong?, dia buru-buru menampiknya"Ini tidak ada kaitannya dengan pengeboranSaya hanya ingin mengatakan bahwa lokasi semburan di Porong yang berada di permukiman padat menimbulkan kekacauanKalau di Texas, kan wilayahnya tidak sepadat itu," tambahnya.Dia hanya mengingatkan bahwa Indonesia berpotensi besar terhadap "serangan" bencana alamKarena itu, pemerintah seharusnya menyosialisasikan hal tersebut kepada rakyat dan membuat mereka "waspada?Sebab, banyak fenomena alam yang unpredictableBahkan, yang sudah terjadi seperti Lusi itu pun masih misterius(leak)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bayu Tolak Gaji Dobel, Bambang Enjoy Mobil Lama


Redaktur : Auri Jaya

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler