Banyak staf pembantu rumah tangga (PRT) yang dibawa ke Australia untuk bekerja di kedutaan dan konsulat ternyata tidak mendapat bayaran layak, diperlakukan buruk, dan dalam beberapa kasus, diperlakukan seperti budak. Sejumlah LSM di Canberra mendesak dihentikannya praktek ini.

Belasan staf lokal dari berbagai kedutaan ini telah mengadukan perlakuan yang mereka terima kepada beberapa LSM dalam beberapa tahun terakhir.

BACA JUGA: VIDEO: Ekspresi Seni Soal Kesendirian dan Kesucian Karya Seniman Indonesia

"Rumah aman yang kami miliki untuk korban perdagangan manusia dan perbudakan, semakin banyak digunakan untuk menampung para staf lokal kedutaan yang meminta bantuan, karena mereka tidak dibayar, tidak memiliki keleluasan untuk pergi, tidak bisa mengontak anggota keluarga dan bahkan kadang kali mengalami kekerasan fisik." kata Jenny Stanger, pendiri pertama rumah perlindungan bagi wanita yang diperdagangkan.

Ibukota Australia Canberra dianggap menjadi penempatan bagus bagi para diplomat, dan kehidupan banyak diantara mereka banyak berkisar dari undangan dan acara makan malam, sesuatu yang memang menjadi bagian dari kehidupan diplomat.

BACA JUGA: Sejumlah Pemerintah Daerah di Australia Dipaksa Merger

Untuk membantu mereka, para diplomat ini diijinkan membawa staf dari negara asal ke Australia.

Namun mantan diplomat senior Australia Bruce Haigh mengatakan beberapa diplomat mengambil staf dari negara mereka sendiri atau mengambil dari negara yang kurang kaya, untuk dijadikan pekerja di rumah kedutaan.

BACA JUGA: Memandang Adelaide Sky dan Kehangatannya


Sandra salah seorang korban 'perbudakan' modern di Australia. (Youtube: The Freedom Partnership to End Modern Slavery)

Haigh menggambarkan praktek ini cara kuno dan terbuka untuk disalahgunakan.

"Yang menjadi alasan adalah bahwa para diplomat memerlukan pembantu untuk mempersiapkan pesta makan malam atau memastikan rumah mereka bersih." kata Haigh.

"Tetapi ini mitos, khususnya di Canberra, karena ada begitu banyak perusahaan katering dan jasa lain yang bisa digunakan oleh kedutaan, sesuai dengan anggaran yang mereka punyai."

Heather Moore, dari Freedom Partnership, sebuah lembaga multi agama yang berusaha mengakhiri perbudakan modern mengatakan sistem yang ada mudah disalagunakan, dan sulit untuk melihat seberapa dalam masalah yang ada.

"Korbannya sangat tersembunyi, dan sangat sulit ditemukan, jadi sangat sulit bagi mereka untuk meminta pertolongan." kata Moore.

Juga sulit untuk mengadili para diplomat asing, karena sebagian besar memiliki kekebalan diplomatik.

Moore mengatakan sebagian besar staf lokal ini masuk ke Australia menggunakan visa 403,yang memang khusus diperuntukkan bagi staf diplomatik yang membawa pembantu.

Dia mengatakan mengetahui ada sedikitnya 20 kasus dimana staf itu diperlakukan dengan buruk, dengan kebanyakan mereka bekerja dalam kondisi seperti budak.

"Ini adalah bentuk perbudakan, dan ekploatasi yang menyentuh saya secara pribadi." katanya.

"Bila ada kelompok dalam sebuah masyarakat yang sebenarnya bisa membayar pekerja mereka dengan layak, para diplomat ada di kelompok tersebut."

Awal Desember, kelompok keagamaan di Australia meluncurkaan Australian Freedom Network, sebuah inisiatif untuk menghentikan perbudakan di Australia.

Mereka ingin sektor diplomatik bertanggung jawab atas kondisi para staf mereka.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Penjara Terbesar di Australia Ini Akan Jadi Tempat Pertunjukan Shakespeare

Berita Terkait