Bawaslu: Pendidikan Politik Penting untuk Hindari Masyarakat dari Polarisasi

Minggu, 10 November 2024 – 10:18 WIB
Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja menyampaikan dengan maraknya polarisasi di perhelatan pemilihan maka penting pendidikan politik bagi masyarakat. Foto: Bawaslu

jpnn.com, JAKARTA - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menilai permasalahan polarisasi pada perhelatan pemilihan masih menjadi pekerjaan rumah (PR).

Pasalnya, di setiap pesta demokrasi masih terjadi persoalan yang berkaitan dengan polarisasi maupun SARA.

BACA JUGA: Lembaga Pemantau Independen Sebut Putusan Bawaslu Bojonegoro Berpihak & Tak Netral

Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja menyampaikan dengan maraknya polarisasi di perhelatan pemilihan maka penting pendidikan politik bagi masyarakat.

Menurut Bagja, pendidikan politik akan menghindari masyarakat dari polarisasi dari pemilihan 2024.

BACA JUGA: Bawaslu Bogor Segera Tindaklanjuti Dugaan Pembagian Amplop oleh Tim Rudy-Jaro

Dia menyebut masyarakat juga perlu untuk diedukasi terkait bahaya dari polarisasi.

"Masyarakat dapat mencari hal-hal yang benar dan baik dari pengetahuan dan informasi mengenai kandidat kepala daerah," kata dia dalam kegiatan Indonesia Fact-Checking Summit 2024, dikutip pada Minggu (10/11/2024) secara daring.
 
Bagja menilai, tahapan kampanye merupakan momentum bagi seluruh kontestan untuk meyakinkan publik dan memaksimalkan segala upaya untuk meningkatkan elektabilitas dengan membangun citra diri serta visi, misi, dan program kerjanya.

BACA JUGA: Video Bagi-bagi Amplop Tim Rudy-Jaro Beredar di Medsos, Bawaslu Didesak Bertindak

Meski begitu, Bagja memandang masih ditemukan pasangan calon yang menggunakan cara-cara tidak bertanggung jawab untuk menarik perhatian masyarakat atau pemilih.
 
“Namun ada catatannya, terdapat cara-cara tidak bertanggung jawab dalam kampanye pemilihan yaitu penggunaan politisasi SARA, ujaran kebencian, dan hoaks untuk saling menyerang pribadi pasangan calon,” kata Bagja.

Bagja menerangkan pasangan calon yang menggunakan politisasi SARA, ujaran kebencian, dan hoaks dalam kampanye, ingin mencari keuntungan dari kekisruhan yang terjadi di masyarakat.

Di sisi lain, kekecauan tersebut tentunya akan menurunkan partisipasi masyarakat di pemilihan 2024.

"Tujuannya untuk mencari keuntungan di situasi yang kacau untuk menumbuhkan dan menurunkan partisapasi, keyakinan, pendukung pasangan calon lain,” jelas anggota Bawaslu dua periode ini.

Bagja mengatakan, dengan cara-cara tersebut akan merusak tatanan demokrasi yang jujur dan adil.

Oleh karena itu, perlu adanya upaya pencegahan yang dilakukan untuk menekan praktik-praktik ‘kampanye hitam’.

Apalagi saat ini perkembangan teknologi atau media sosial begitu massif.

“Ini terbukti pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu 2019,” ujar mantan Wakil Sekretaris Umum PTKP HMI Cabang Depok (2001-2003) ini.

Mantan Ketua Umum PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Utrecht ini menyampaikan, polarisasi akan menimbulkan permasalahan di masyarakat.

Parahnya lagi, akan mengancam keamanan dan disintegrasi.
 
“Bahkan hal tersebut mengancam keamanan dan disintegrasi kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Bagja. 
 
Bagja melihat pada Pemilu 2024, kerja sama antara Bawaslu, KPU, pemerintah dan masyarakat sipil seperti Cek Fakta, untuk menurunkan tensi dan politiasi SARA di media sosial dan berhasil dilakukan.

Dengan demikian, Pemilu 2024 berhasil mereduksi politisasi SARA, hoaks, dan ujaran kebencian di media sosial dengan sangat signifikan. Maka dari itu, Bagja memandang perlu ada kerja sama dari semua stakeholder.
 
“Oleh sebab itu, Bawaslu berpendapat dan meyakini bahwa cek fakta merupakan pilar utama dalam membangun peradaban yang bermatabat dan menciptakan kontestasi politik dalam demokrasi yang menjadi berkualitas dan berintegritas dan terhindar dari berita hoaks dan ujaran kebencian,” ucap Bagja. 
 
Alasanya, lanjut dia, masyarakat sebagai pemegang kedaulatan harus disuguhi berbagai macam pendidikan politik yang bertanggung jawab.

Bagja melanjutkan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya verifikasi dalam mengisi kualitas demokrasi dalam konteks pemilihan tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri melainkan perlu kolaborasi bersama.
 
“Mari terlibat aktif melakukan pengawasan melalui pengawasan partisipatif serta memperluas pendidikan politik kepada masyarakat yang benar,” kata Bagja.

Bagja menambahkan, jika masyarakat mendapati dugaan pelanggaran yang dilakukan peserta pemilihan untuk langsung melaporkannya ke Bawaslu. Sehingga, pihaknya dapat melakukan penelusuran.

“Laporkan kepada kami dalam hal terdapat dugaan pelanggaran pemilihan yang dalam bentuk misinformasi, hoaks,  dan politisasi Sara di media sosial,” pungkas Bagja. (jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bawaslu Ingatkan Politisasi SARA Rusak Tatanan Demokrasi


Redaktur : Dedi Sofian
Reporter : Dedi Sofian, JPNN.com

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler