Agus Putra Wicaksono, mahasiswa program PhD pada University of Melbourne, tak pernah menyangka harus hidup terpisah dari istrinya, Ni Wayan Krisna Martini, sejak kembali ke Indonesia untuk mendampingi orangtuanya yang sakit keras.
Pada Maret lalu, istri Agus yang biasa disapa Isna, pulang ke tanah air karena kondisi ayahnya yang semakin kritis.
BACA JUGA: Pelacakan Kontak Telah Membantu Upaya Untuk Mengetahui Penyebaran Kasus COVID-19 di Melbourne
"Bapak mertua saya akhirnya meninggal dunia, dan istri saya sampai sekarang masih tertahan di sana belum bisa masuk ke Australia," ujar Agus saat berbincang dengan wartawan ABC Indonesia Farid M. Ibrahim, Senin (24/5/2021).
Alumni Teknik Perkapalan ITS Surabaya ini tiba di Australia pada Juli 2019 untuk melanjutkan kuliah S3 di bidang 'supply chain management'.
Dua tahun sebelumnya, Agus telah menyelesaikan pendidikan S2 dengan beasiswa dari Pemerintah Australia.
"Untuk S3, saya menerima beasiswa dari Melbourne University," jelasnya.
BACA JUGA: Program Vaksinasi di Australia Berjalan Tersendat, Ancaman Serius Bagi Warganya
Agus dan Isna boleh dikatakan menjadi korban dari kebijakan penutupan perbatasan Australia karena sampai sekarang mereka terpaksa hidup terpisah.
"Saat itu kami juga menyadari adanya risiko akan kesulitan untuk kembali ke Australia, namun karena pertimbangan sakitnya mertua semakin kritis, akhirnya istri saya saja yang berangkat," katanya.
"Saya mendiskusikan situasi kami ke supervisor di kampus dan mereka pun tidak merekomendasikan saya pulang ke Indonesia," kata Agus.
Saat ini, lanjut Agus, mereka sedang berusaha mendapatkan pengecualian agar istrinya bisa segera kembali ke Australia.
Selain alasan kemanusiaan karena orangtua yang sakit keras dan kemudian meninggal dunia, kondisi beasiswa Agus juga mengharuskannya tinggal di Australia karena menjalankan riset.
"Situasi mental yang saya hadapi akibat hidup terpisah ini juga semoga bisa jadi pertimbangan untuk mengizinkan istri saya kembali ke Australia," ujarnya.
Menurut Agus, selama pandemi COVID-19, ia merasa justru semakin terisolasi karena harus studi sendiri di rumah sebagai mahasiswa riset. Berbagi tugas rumah selama pandemi
Lilik Astari, mahasiswa program PhD penerima Australia Award Scholarships (AAS), mengatakan kehadiran suaminya Ady Rachmat begitu penting untuk kelancaran studinya.
Selama pandemi anak sulung mereka harus belajar dari rumah, karenanya tak ada pilihan lain bagi pasangan yang dikaruniai tiga orang anak ini untuk saling berbagi tugas.
"Ketika saya menjadi guru untuk anak yang harus belajar dari rumah, suami yang mencuci baju, memasak, dan kerjaan rumah lainnya," ujar Lilik kepada ABC Indonesia, Selasa (25/5/2021).
Lilik menuturkan keluarganya baru tiba di Australia pada awal tahun 2020, hanya beberapa minggu sebelum 'lockdown' di Melbourne diberlalukan.
"Anak pertama baru masuk kelas 5 SD tahun lalu, belum bisa berbahasa Inggris, dan harus belajar dari rumah sehingga otomatis ibunya yang jadi guru sekaligus translatornya," tuturnya.
Setelah itu, barulah Lilik mengerjakan proposal penelitiannya di School of Ecosystem and Forest Sciences pada University of Melbourne.
Dalam riset doktoralnya, Lilik yang bekerja pada pusat penelitian biomaterial LIPI mencoba menemukan teknik pembuatan panel kayu dari limbah batang jagung dengan bahan perekat alami yang ramah lingkungan.
"Tadinya saya ingin studi lapangan di Indonesia karena nantinya hasil riset ini bisa dikembangkan sesuai dengan konteks Indonesia," jelasnya.
Namun karena situasi pandemi saat ini, saat Lilik mengajukan proposal tersebut, para supervisor penelitiannya pun menyarankan agar konteks Indonesia dalam penelitian itu untuk sementara ditunda dulu.
"Jadinya saya mencari material penelitian di sekitaran (negara bagian) Victoria," ujar alumni Universitas Brawijaya ini.
Ketatnya aturan perbatasan yang diterapkan Pemerintah Australia memang telah berdampak pada kerja lapangan untuk penelitian Lilik.
"Saya tidak menyesalkan langkah Pemerintah [Austalia] yang ketat dalam menangani pandemi, karena sekarang kita telah melihat hasilnya," katanya. Pentingnya dukungan komunitas
Selama pandemi, pasangan Muchlis Setioaji dan Fitriana Ekawati yang telah beberapa tahun tinggal di Australia, mengaku sangat beruntung karena mengenal dan memiliki jaringan dengan komunitas warga Indonesia.
"Kami tiba di Australia sejak tahun 2014 hingga 2016, pulang setahun dan kembali lagi pada 2017 sampai sekarang," jelas Muchlis saat dihubungi, Senin lalu (24/5/2021).
Muchlis menuturkan, sebagai suami yang mendampingi istrinya yang sedang menempuh program PhD, bekerja untuk mencukupi uang beasiswa sudah dijalaninya selama ini.
"Untuk penerima beasiswa itu rata-rata antara AU$2.500 hingga $3.000 [antara Rp27-33 juta] per bulan," ujarnya.
"Sehingga sebagian besar habis buat sewa rumah," ujarnya.
Meski pekerjaannya sempat terhenti selama enam minggu saat 'lockdown' ketat di Melbourne tahun lalu, Muchlis terlibat dalam inisiatif bersama pihak Konsulat Jenderal RI membantu keluarga asal Indonesia yang mengalami kesulitan finansial saat itu.
"Karena sudah agak lama di sini, kami tahu bagaimana kesulitan yang dihadapi keluarga mahasiswa terutama mereka yang baru datang," jelasnya.
Ikuti informasi seputar pandemi COVID-19 di Australia melalui ABC Indonesia
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hampir 80 Persen Warga di Australia Ingin Perbatasan Tetap Ditutup Sampai Pandemi Terkendali