jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum kehutanan Sadino menyebut pelaku usaha perkebunan yang terlanjur beroperasi di hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) tanpa terlebih dahulu adanya hasil tim terpadu, bukan merupakan kategori perbuatan melawan hukum.
Menurut dia, hal itu sesuai penjelasan Pasal 19 ayat (1) PP No. 10 tahun 2010, bahwa pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi bisa dilaksanakan tanpa melalui penelitian tim terpadu. Terlebih apabila dikaitkan dengan ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
BACA JUGA: Negara Wajib Menjamin Hak Masyarakat Sebelum Menentukan Kawasan Hutan
“Karena kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi merupakan kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, yang ditetapkan berdasarkan hasil penelitian tim pusat dan daerah serta lintas sektoral,” kata Sadino dalam siaran persnya, Jumat (17/2).
Menurut Sadino, tim terpadu yang dimaksud dalam Pasal 19 merupakan amanat dari UU agar segera disusun Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, yang mencakup perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh emerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
BACA JUGA: Pemerintah Wajib Melindungi Hak Atas Tanah dari Klaim Kawasan Hutan
“Dari amanat itu, meski dalam pelaksanaannya sangat terlambat, karena sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun, pemerintah baru mengeluarkan PP Nomor 10 tahun 2010 tentang Perubahan dan Peruntukan Fungsi Kawasan Hutan,” kata Sadino.
Sadino menjelaskan pembentukan tim terpadu merupakan kewenangan pemerintah, bukan kewenangan pelaku usaha. Diperlukan atau tidaknya ada di dalam proses yang diatur oleh pemerintah.
BACA JUGA: Melalui Program Perhutanan Sosial, Puluhan Ribu Hektar Hutan Desa Direstorasi oleh Warga di Katingan
“Ada ketentuan hukum yang mewajibkan pembentukan tim terpadu, ada juga yang tidak. Untuk melaksanakan proses perizinan perkebunan yang memerlukan pelepasan kawasan hutan juga mekanisme ada pada pemerintah, karena pelaku usaha adalah sebagai yang mengajukan permohonan,” jelas Sadino.
Sadino menambahkan PP 10 tahun 2010 dalam Pasal 1 angka 11 menyebut HPK adalah kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Artinya untuk perkebunan tidak dilarang karena sesuai peruntukannya.
“Dalam hal permohonan pelepasan kawasan hutan, dapat dilakukan secara parsial. Perubahan peruntukan kawasan hutan secara parsial dilakukan melalui, tukar menukar kawasan hutan, atau pelepasan kawasan hutan,” tambahnya.
Meski demikian, lanjut Sadino, pelepasan kawasan hutan tidak dapat diproses pada provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30 persen, kecuali dengan cara tukar menukar kawasan hutan.
Hal ini, lanjut Sadino, merupakan tindak lanjut dari PP Nomor 10 tahun 2010 adalah Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.33/Mnhut-II/2010 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan pada HPK.
“HPK harus memenuhi kriteria: a. Fungsi HPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. Tidak dibebani izin penggunaan kawasan hutan, izin pemanfaatan hutan dan/atau perizinan lainnya; c. Dalam kondisi berhutan maupun tidak berhutan; dan d. Berada pada provinsi yang luas Kawasan hutannya di atas 30 persen,” jelasnya.
Sadino menjelaskan pelaku usaha yang dasar perizinannya diperoleh pemerintah daerah (pemda) yang bersumber dari RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota berdasarkan Paraturan Daerah (Perda) ternyata tidak semuanya dapat diselesaikan melalui PP 10 tahun 2010.
“Maka dikeluarkan PP Nomor 60 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas PP Nomor 10 tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan,” jelasnya. (cuy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Begini Penjelasan Saksi dari KLHK soal Kedudukan Kawasan Hutan
Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan