Pemerintah Wajib Melindungi Hak Atas Tanah dari Klaim Kawasan Hutan

Sabtu, 28 Januari 2023 – 08:32 WIB
Ilustrasi kawasan hutan. ilustrasi Foto : Antara/HO-Perhutani

jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum kehutanan dari Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta Sadino mengatakan pemerintah wajib memberikan pelindungan terhadap hak atas tanah yang masuk dalam kawasan hutan.

Hal tersebut sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-IX/2011, apabila ada hak-hak perorangan seperti SHM, HGU, HGN, dan hak lainnya yang diklaim masuk kawasan hutan, maka sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mengeluarkannya dari kawasan hutan supaya tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

BACA JUGA: Pakar: Tak Ada Sanksi Pidana Dalam Penyelesaian Masalah Kawasan Hutan

“Jika ditemukan kebun sawit rakyat atau perusahaan yang sudah memiliki hak atas tanah tidak dalam kategori melanggar hukum. Maka konsep penyelesaiannya adalah pengeluaran kebun sawit tanpa syarat,” kata Sadino dalam siaran persnya, Sabtu (28/1).

Menurut Sadino, bagi yang sudah ada hak atas tanah, istilah penyelesaian kebun sawit dalam kawasan hutan adalah tidak tepat.

BACA JUGA: Penyelesaian Masalah Kawasan Hutan Tidak Ada Pidana, Begini Penjelasan KLHK

Adapun yang tepat adalah kawasan hutan yang masuk dalam kebun sawit sesuai kaidah dan norma hukum sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-IX/ 2011.

Putusan MK telah merubah kewenangan Menteri Kehutanan agar pelaksanaan penetapan suatu kawasan menjadi kawasan hutan yang mengacu kepada Pasal 4 Ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tetap memperhatikan hak atas tanah yang diberikan sesuai peraturan perundang-undangan.

BACA JUGA: Begini Penjelasan Saksi dari KLHK soal Kedudukan Kawasan Hutan

Sejak 2012, Pasal 4 ayat (3) dinyatakan tidak berlaku dan tidak mengikat. Putusan MK berlaku sejak tanggal diputuskan yang bersifaf final.

“Penyelesaian ini telah diatur dalam Pasal 110A UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Perpu Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Harus menuju ke sana, karena hanya menekankan persyaratan izin lokasi dan/atau izin usaha perkebunan," kata Sadino.

Dia menjelaskan dalam menjalankan UUCK tentunya klasifikasi hak atas tanah harus diperhatikan agar tidak menyebabkan timbulnya konflik baru dalam sistem usaha di Indonesia. Terutama dalam insentif lahan sebagai bagian insentif kegiatan investasi.

Jika produk yang diberikan oleh negara seperti hak atas tanah tidak dilindungi, maka akan terjadi sengketa hukum di pengadilan yang membuat tidak terlindunginya investasi.

Produk negara akan diuji melalui sengketa di pengadilan, baik terkait hak keperdataan maupun sengketa hukum administrasi.

“Penyelesaian pemenuhan perizinan adalah bagi yang belum lengkap izinnya, jika kebun sawit yang sudah diberikan hak atas tanah diperlakukan sama dengan izin tentu tidak benar dan melanggar hak konstitusi warga negara," ujar dia.

Dalam hukum administrasi, lanjunya, dikenal adanya asas hukum Presumtio Iustae Causa yang bermakna ‘setiap putusan tata usaha negara adalah sah sampai ada putusan pengadilan atau pejabat yang berwenang membatalkannya’.

"Tentu SK penunjukan kawasan hutan, termasuk SK penetapan kawasan hutan yang dikeluarkan oleh menteri tidak serta merta menghilangkan hak atas tanah," tegas Sadino.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Budi Mulyanto menambahkan dasar dari penetapan kawasan hutan adalah pengukuhan dan bukan penunjukan seperti selama ini diterapkan.

"Konsep penunjukan yang selama ini diberlakukan, punya persoalan, yakni terlihat legal tapi tidak legitimate atau pengakuan sangat rendah dari masyarakat," katanya.

Menurut Budi, tata batas adalah proses hukum dan bukan proses teknis oleh karena itu batas harus ditentukan dan disepakati oleh pihak-pihak yang berbatasan dengan menerapkan azas contradictiore delimitatie.

"Persoalan tata batas selalu tidak tuntas, karena dalam praktiknya terdapat dualisme kebijakan pertanahan di Indonesia," tegasnya.

Di dalam kawasan hutan legalitas pemanfaatan tanah ada melalui izin dari KLHK. Sedangkan di luar kawasan hutan atau yang disebut dengan Area Peruntukan Lain (APL) administrasi dan penguasaan tanah menjadi kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

"Fakta ini berimplikasi pada munculnya berbagai aturan dan regulasi bidang pertanahan di dalam dan luar kawasan hutan, termasuk masalah kepastian hukum pengakuan penguasaan tanah oleh masyarakat," pungkasnya. (cuy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Perempuan-Perempuan Friwen Raja Ampat Full Senyum di Tengah Lebatnya Hutan Mangrove


Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler