jpnn.com - BAGI warga Desa Lencoh, Kecamatan Selo, Boyolali, lebaran merupakan momen yang sangat dinanti. Bukan semata sebagai sebuah "hari kemenangan" setelah sebulan berpuasa, bagi warga lereng Gunung Merapi itu lebaran adalah sebuah pesta.
Ya, karena hampir di setiap rumah ada sajian beragam olahan daging sapi. Suguhan soto daging sapi, seolah menjadi menu wajib yang dihidangkan. Hangat, di tengah udara dingin di desa yang menjadi jalur pendakian itu.
BACA JUGA: Pesta Minuman Haram saat Lebaran, Empat Tewas, Satu Perempuan
Sapi yang dipotong merupakan hasil piaraan yang dibeli setahun lalu, dari iuran warga per kelompok. Satu kelompok terdiri rata-rata 12 keluarga, yang masing-masing mengeluarkan uang Rp 500 ribu hingga Rp 600 ribu. Setahun dipiara, gemuk, lantas dipotong di hari kedua lebaran, 18 Juli 2015.
Begitu terus, usai lebaran iuran lagi untuk membeli sapi, yang akan dipotong pada lebaran tahun depan. "Yang tidak ikut iuran tidak apa-apa, tapi tetap membeli daging sendiri," cerita Sri Mulyati, warga Lencoh, kepada JPNN.com, Sabtu (18/7).
BACA JUGA: Petakan Daerah Rawan Kecelakaan
Malamnya, sejumlah pemuda sambil gitaran, memanggang sate sapi. Perapian sekaligus untuk menghangatkan badan. Sedang Merapi sudah nyenyak diselimuti kabut tebal.
Yang menarik, di saat pesta mereka tidak melupakan para leluhurnya. Di sebuah ruangan rumah Bu Mul -begitu guru TK itu biasa disapa- satu meja dihidangkan sesaji. Ada daun sirih, rokok kretek, rokok klobot, rokok linting. Di cawan yang lain, ada apem ketam, ada makanan contong. Juga disiapkan jadah bakar, senejong, telur ayam kampung rebusan. Yang bikin agak merinding, ada kemenyan yang diwadahi khusus.
BACA JUGA: Bisnis Haram Gading Gajah, Untung Jutaan dan Ssttt...Banyak Pejabat yang Terlibat
"Sesajen itu semuanya ada maknanya. Misal beragam jenis rokok, itu untuk para danyang (leluhur desa. red), karena dulu jenis rokoknya seperti itu. Jadah bakar itu untuk Ki Hajar Saloka, juga leluhur kami. Apem ketan, itu sesajen khusus lebaran, ya biar para leluluhur juga ikut berlebaran," kata Warsito, suami Bu Mul. "Kata para orang tua kami, sebenarnya ini hanya sebagai cara agar kita selalu ingat kepada para lelulur," imbuhnya lagi.
Namun, lanjut PNS itu, setiap keluarga jenis sesajennya berbeda-beda. "Tergantung makanan kesukaan para almarhum orang tua masing-masing. Ini ada asem-asem karena almarhum bapak mertua kami dulu suka asem-asem," pungkasnya. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gamalama Erupsi, Sudah 4 Hari Tidak Mandi
Redaktur : Tim Redaksi