Belajarlah Walau Harus ke Negeri India

Rabu, 23 Februari 2011 – 03:33 WIB

SEBELUM menapakkan kaki ke India, saya diceramahi banyak kawan yang pernah ke sanaBawa Imodium, bro! Jangan lupa Diatab, obat sakit perut! Hindari makan, camilan, minuman, di tepi jalan! Jangan naik bus di jam sibuk, jangan nongkrong ke terminal bus! Jangan layani peminta-minta, jangan sok sosial! Jangan kasih sign  ke penjaja suvenir!

Bawa vitamin, obat-obatan ringan! Kalau flu, jangan lupa pakai masker penutup hidung! Kalau alergi debu jangan banyak keluar gedung naik truk-truk! Semacam bemo, bajaj roda tiga berwarna hitam itu! Nggak usah bermain pasir di Pantai Juhu, sekalipun promosinya disebut Kuta-nya India! Hati-hati kalau berjalan di gateway of India!

Jangan duduk sembarangan, pastikan bersih! Atau pegang karet hitam escalator di mal, apalagi setelah itu pegang-pegang hidung! Jangan menunggu taksi atau mobil sewaan di bawah pohon, kalau tidak mau diberakin burung gagak dan burung merpati! Mumbai kotanya burung gagak

BACA JUGA: Membuka Cadar-Cadar Penutup Daerah Sensitif

Di mana-mana banyak gagak berkeliaran dan tidak boleh diusik


Jangan ke Linking Road, pusat segala gelang dan kalung rumbai-rumbai khas India

BACA JUGA: Dari Bumbu Kari, sampai Lagu Jai Hoo

Jangan ke boulevard, tepi pantai! Kecuali siap berbagi tempat dengan penduduk Mumbai" Jangan berhenti hanya untuk foto-foto di atas Rajiv Gandhi Sea Link, Anda bisa disemprit Pak Polisi!

Masih banyak deretan daftar ’’jangan ini, jangan itu’’ yang saya kantongi sebelum ke Negeri Acha Acha itu
Sampai-sampai saya sempat patah hati dan menjadi manusia paranoid

BACA JUGA: Mengetuk Pintu Langit India dari Mumbai

Saya cek suhu badan dengan thermometer, sebelum berangkat, setelah mendarat, dan tiap hari selama di sana

Catatan itu betul-betul membuat ciut nyali sayaTapi apa boleh dikata daripada sakit di negeri orang yang jauhnya 5 jam penerbangan dari Singapura.

Saya heran, mengapa kawan-kawan saya begitu cara melihat India? Seperti sebuah negeri penuh dengan bakteri atau sejenis monster kecil yang sedang mencari sasaran manusia-manusia seperti sayaSaya juga heran, mengapa mereka kok melihat saya seperti barang pecah belah, yang harus ditempel stiker fragile

Kenapa sih kalian ini? Sepertinya aku sudah kehilangan daya tahan atau terinfeksi HIV AIDS aja" Please deh! Antibodi saya masih normal, bro! Sampai saat-saat mau pulang, masih saja banyak request

Dari sekian banyak hal yang disarankan itu, yang paling unik adalah jangan langsung bersentuhan dengan penjemput, begitu mendarat di Soekarno-HattaSekalipun sudah melewati Changi Airport Singapore" Entah itu dengan anak, keluarga, sanak saudara, kawan, dan siapa saja penjemputnyaCek dulu suhu tubuh, demam apa normal" Cek dulu masih ada uang kertas Rupee apa tidak"

Karantina dulu! Jika perlu masukkan ke dalam incubator raksasa, yang sudah ada ruangan penghisap kuman-kuman dan bakteri yang menumpang gratis lewat bagasi" Kalau perlu masukkan dulu ke ruang isolasi, dengan tekanan udara tinggi, yang betul-betul sterilJika perlu melewati ruangan yang disemprot gas antiseptik!

’’Ingat!’’ kata dia“Begitu turun dari pesawat, loe masuk ke Terminal II, terus cari ruangan, ganti baju, ganti celana, termasuk celana dalam, dan kaus kaki! Masukkan ke plastik, ditali rapat-rapat dengan karet, lalu dibawa ke dry clean!” tuturnyaLalu? ’’Semprot tangan kalian dengan alcohol 70 persen! Sampai di rumah, mandi dulu yang bersih!” biar bebas kuman. 

Kurang ajar betul mereka, kok meracuni saya dengan pesan-pesan tidak masuk akalMereka kan juga manusia normal, sama-sama makan nasi dan kare ayam

Lama, otak saya bertengkar dengan saran-saran mereka ituSampai akhirnya saya berpikir, mereka sudah kelewat batas dan hiperbola! Lebih bombastis dari judul-judul koran! Sama kencangnya dengan anggota-anggota dewan yang terhormat di Senayan dalam beradu debat soal angket pajak" Tidak elok didengar oleh orang-orang India

Tapi, ’’warning’’ yang disampaikan kawan-kawan itu cukup memaksa saya lebih untuk lebih berhati-hatiAntara ’’perasaan was-was’’ dan ’’psikopat.’’ Jadi ingat pelajaran zaman SD dulu, usaha preventif lebih baik daripada kuratifMenjaga lebih afdol daripada mengobati

Tidak salah juga, setelah 4 hari di Mumbai, kota yang dinilai paling maju di IndiaSaya bahkan bisa menambah puluhan daftar ’’Jangan ini, jangan itu’’ lagiJakarta yang sering dibilang kotor dan kaki lima yang tidak higienis, itu jauh lebih bersih dari pada penjaja tepi jalan di India

Pemandangan seperti mencuci baju di jalan, menyikat gigi di depan rumah-rumah kakilima (bukan hanya pedagang yang berkaki lima, red), kumuh, berlepotan debu dan kotor, membuat kita enggan membuka jendela mobilSekalipun hanya untuk sekadar mengambil gambar foto, berat rasanya tangan hendak membuka pintu jendela

Karena aroma tidak sedap langsung menguasai mobil dalam beberapa saat, dan sopir harus memprogram AC-nya dengan fan paling kencang agar bisa mengusir bauDebu-debu juga membuat hidung ikut terasa gatal dan serasa hendak bersinSeperti terkena serangan merica tumbuk saja, bikin bersin-bersin

Kaca mata hitam juga harus senantiasa menempel di mukaBukan untuk gaya-gayaan saja, --ya, itu juga penting, biar kelihatan keren--, tetapi tanpa kacamata rasanya seperti berada di Jogja saat Merapi meletus laluDebu ada di mana-mana, sampai-sampai, jarak pandang kita jadi amat terbatas, karena kota Mumbai seperti diselimuti kabutAku yakin itu bukan kabut, tapi debu

Semua kesan buruk itu bukan tanpa maknaTuhan sedang memberi petunjuk, ’’Belajarlah ke India! Belajar tidak harus mencontohBelajar adalah menimba ilmuKita ditunjukkan hal-hal yang semestinya kita hindariKita diberi petuah, bahwa kebersihan itu penting, keindangan itu penting, menjaga agar tetap bersih, indah, sehat, itu wajib dilakukan! Jangan mencontoh yang buruk!’’ Itu pelajaran pertama dari Negerinya Dewa-Dewa itu

Mari berkaca dengan pariwisata dalam negeri kita! (bersambung)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Serius Nih Fren!


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler